web analytics
Connect with us

Opini

Program Kerja Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak Lentera Hati

Published

on

Dokumentasi pertemuan rutin P3A Lentera Hati

Oleh Lilis Sutinah, Parmi (Krajan), Retno Puji Riyawati

Sejak tahun 2015 Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) Lentera Hati (LH) telah melaksanakan beberapa program kerja yang berhubungan dengan penguatan kelompok perempuan dan anak.

1.Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Seksual

Kami telah mengadakan sosialisasi tentang pencegahan kekerasan seksual di SD-SD lingkungan Desa Berta, SMP di lingkungan Kecamatan Susukan.Sosialisasi dilakukan di SD Negeri I Berta, SD Negeri III Berta, SD Negeri IV Berta SD Negeri V Berta, SMP Negeri III Susukan, MTS Maarif NU 01 Susukan.Beberapa dari sekolah menginginkan untuk dilakukan sosialisasi secara rutin dan berkelanjutan setiap semester atau tahun ajaran baru.

2. Sosialisasi Kespro (Kesehatan Reproduksi) bagi Remaja. Kegiatan ini dilakukan di Balai Desa Berta melibatkan remaja di Desa Berta.

3. Pelatihan peer educator (pendidik remaja sebaya) dan hasilnya terbentuk kelompok pendidik remaja sebaya

4. Sosialisasi dan konseling. Tujuan kegiatan ini adalah memberikan pengetahuan tentang pola asuh anak dan macam-macam kekerasan (parenting dan pendidikan ramah anak). Dilakukan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dalam pertemuan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), di Majelis Taklim, di pertemuan Muslimatan, Pertemuan RT, dan pertemuan-pertemuan lainnya.

5. Anjangsana ke rumah anggota. Kegiatan yang dilakukan, yaitu anggota LH mengundang ibu-ibu warga sekitar untuk berkumpul dan diberi sosialisasi tentang kekerasan seksual terhadap anak (KSTA), parenting, Kespro, dan sosialisasi lain yang berhubungan dengan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan.

6. Sosialisasi pergaulan remaja sehat. Sosialisasi ini dilakukan di Balai Desa Berta pesertanya anak-anak setingkat SMP yang ada di Desa Berta.

7. Pembentukan Taman Belajar Masyarakat (TBM) di Desa Berta. Pembentukan TBM dilakukan pada tanggal 14 Agustus 2015

8. Sosialisasi TBM, piket rutin di TBM, dan bedah buku yang ada di TBM.

9. Rapat pleno menyusun program kerja dan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) P3A LH

10. Rapat laporan pertanggungjawaban (LPJ)

 11. Pelatihan merajut

12. Pelatihan memanfaatkan limbah botol kemasan minum dibuat menjadi tas

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending