Rilis
Valentine’s Day dan Kekerasan Dalam Pacaran
Published
7 years agoon
By
Mitra WacanaTalkshow Radio
Tempat : Sonora FM
Host : Fani
Hari/Tanggal : Selasa, 13 Februari 2018
Pukul : 11.00-12.00 WIB
Narasumber : 1). Dwi Ayu (UNALA Youth), 2).Wahyu Tanoto (Mitrawacana WRC)
Ada keterkaitan antara Valentine’s Day dan kekerasan dalam pacaran. Biasanya sesudah perayaan ini akan ada laporan, terutama minimal tiga bulan atau setelahnya terkait dengan KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan) yang dialami oleh para remaja perempuan. Sudah bisa dipastikan bahwa kekerasan dalam pacaran ini perempuan-lah yang banyak dirugikan. Membincang kekerasan dalam pacaran cukup sulit karena biasanya dilandasi adanya perasaan saling mencintai, saling menyayangi, dan lain-lain. Sehingga jika terjadi kekerasan seolah-olah hal tersebut dimaklumi. Padahal dalam hubungan seperti itu pasti ada ketidaksetaraan atau timpang antara laki-laki dan perempuan. Karena hubungan yang timpang ini minimal ada 4 kekerasan yang dialami oleh perempuan yakni; kekerasan fisik (dipukul, ditampar), kekerasan psikis/ batin (dihina, dibanding-bandingkan), kekerasan ekonomi (dipalak, dipaksa mentraktir), dan kekerasan seksual (pelecehan, perkosaan). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa ketika pacaran mau diajak pergi untuk jalan-jalan di saat hari Valentine? Biasanya jawaban yang dikemukakan oleh mereka adalah karena dia pacar saya sehingga saya tidak akan pernah berpikir jelek tentang pacar saya, apalagi melakukan kekerasan terhadap saya. Namun fakta di lapangan terjadi kekerasan tersebut.
Di hari Valentine banyak pasangan yang akan memberikan hadiah seperti bunga, coklat, boneka, dan lain-lain. Banyak juga yang akhirnya menyalahartikan momentum ini. Dalam sejarahnya, awal mula Valentine ini adalah adanya seorang pemuka agama yang bernama Valentino. Saat itu ada kebijakan yang melarang bahwa golongan dan kelas tertentu tidak boleh melakukan pacaran atau menikah dengan golongan yang lain karena lebih tinggi kastanya. Suatu hari ada pasangan yang cerita kepada Valentino bahwa mereka saling mencintai tapi dilarang karena berasal dari kelas yang berbeda? Maka Valentino ini membela pasangan tersebut yang akhirnya Valentino sendiri dijatuhi hukuman mati. Sebagai bentuk kasih sayang para warga kepada Valentino, mereka melakukan perayaan untuk menghormatinya. Persoalannya adalah mengapa seiring bergesernya waktu perayaan tersebut jadi berubah? Hal ini karena yang biasa didengar dan disampaikan adalah istilah “kasih sayang”. Padahal kasih sayang seharusnya tidak harus pada hari itu juga, setiap hari adalah hari kasih sayang. Bentuk dan wujud kasih sayang juga tidak terbatas pada lawan jenis, bisa juga dengan sesama makhluk, misalnya sayang kepada binatang peliharaan. Oleh karena itu, persoalan yang muncul selanjutnya adalah perayaan Valentine sekarang ini menjadi dikultuskan dan dijadikan momen oleh sebagian laki-laki untuk meminta dan memaksa pasangannya untuk membuktikan rasa cintanya.
Remaja saat ini banyak yang salah mengartikan bahwa pacar adaah segala-galanya dan akan menjadi suaminya kelak. Oleh karena itu, apapun akan dipertaruhkan untuk pacarnya. Bagi para remaja di tingkat sekolah menengah, hari Valentine merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu. Selain sebagai pembuktian kasih sayang juga sebagai gengsi diantara teman-temannya.
Pacaran memang tidak secara khusus dilarang, namun ada hal-hal yang sekiranya menjadi prinsip dan tidak prinsip. Kalau misal masih berstatus pelajar, pacaran tidaklah dilarang namun orang tua harus tahu. Pacaran juga jangan sampai mengganggu aktivitas sekolahnya, namun banyak kejadian di sekolah malah pelajar lebih memilih bolos sekolah dengan alasan pacaran tersebut. Selama pacaran membawa pengaruh positif sebenarnya tidak masalah, misal belajar bareng. Persoalannya pergaulan remaja sekarang ini sudah banyak bergeser menjadi kenakalan remaja, seperti adanya peristiwa klitih. Pesatnya perkembangan informasi juga tidak bisa ditolak, sehingga terbukanya dan bebasnya akses informasi ini ditambah dengan alat pengakses yang canggih (smartphone) menjadikan remaja sulit untuk membatasinya. Dikhawatirkan pelajar ini mengakses informasi tentang pornografi dan sadisme. Seperti peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu yakni ada sekitar 30 anak yang menggunakan kebebasan informasi untuk menyerang sekolah lain. Mereka mengorganisir gerakannya melalui smartphone yang mereka miliki. Beruntungnya, sebelum gerakan ini dilakukan informasi ini sudah diketahui oleh polisi. Persoalannya adalah ketika remaja tidak didampingi dan dibiarkan bebas mereka tidak terkontrol. Pengawasan diperlukan bukan untuk pembatasan tetapi pengasuhan.
Kekerasan dalam pacaran adalah segala perbuatan atau tindakan yang mungkin menyengsarakan baik secara fisik, batin/ psikis, ekonomi maupun sosial, serta timbulnya perbuatan sewenang-wenang atau memaksa. Hal ini bisa dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun fakta di lapangan, korban terbanyak dialami oleh perempuan. Hal ini diketahui karena korban yang banyak lapor dan bercerita adalah perempuan. Dalam konteks kekerasan dalam pacaran tidak ada batas-batasnya, asal terdapat 4 hal atau unsur kekerasan dalam pacaran maka itu sudah termasuk kekerasan namun tarafnya berbeda-beda. Hal terpenting adalah jika terdapat perasaan tidak nyaman atas perlakuan pasangan maka diduga sudah terjadi kekerasan dalam pacaran. Pelaku kekerasan dalam pacaran ini biasanya mempunyai foto atau video dari pacarnya untuk melakukan ancaman. Ini dijadikan alat untuk menguasai korban.
Permasalahan remaja terjadi karena kurangnya informasi atau ketidaktahuan mereka tentang kasus yang sebenarnya menimpa dirinya. Selain adanya 4 unsur kekerasan dalam pacaran yang sudah tersebut, ada lagi temuan tentang kekerasan sosial. Kasus kekerasan sosial ini menimpa pasangan yang salah satunya ketahuan selingkuh karena pasangannya terlalu sibuk. Akhirnya pasangan korban selingkuh ini menghentikan aktivitas sosialnya karena khawatir pacarnya aka selingkuh lagi. Banyak pasangan pacaran yang beranggapan sebagai relasi rumah tangga sehingga perempuan cenderung mengikuti kehendak si laki-laki. Inilah mengapa banyak temuan di lapangan yang korbannya adalah perempuan. Hal yang perlu diinformasikan adalah bagaimana tentang pacaran sehat dan kekerasan dalam pacaran. Banyak orang yang telah mengalami kekekrasan dalam pacaran tetapi tidak menyadarinya karena kekurangtahuan mereka. Biasanya kekerasan psikis diawali dengan adanya kekerasan fisik.
Kekersan seksual harus dipotong atau diputus mata rantainya karena jika tidak maka akan terus berlanjut. Cara memutus mata rantai tersebut adalah dengan menanamkan sikap tegas kepada korban. Jika korban sudah mengambil keputusan maka tidak boleh menyesal, misalnya seperti mengatakan pada diri sendiri “saya sudah mengalami kekerasan seksual maka saya akan mengakhiri dan melawan kekerasan ini”. Selain itu, korban harus mencoba mencari informasi tentang instansi yang bisa mendampingi. Misal ada seseorang korban yang memutus mata rantai atau ingin melawan kekerasan seksual sedang dia tidak tahu atau tidak ditemani oleh konselor dikhawatirkan akan mengalami intimidasi. Kekerasan seksual sendiri banyak macamnya, mulai dari pelecehan seksual. Hal ini bisa dilaporkan maupun hanya diviralkan sebagai bentuk hukuman sosial bagi pelakunya.
Namun jika kekerasan seksual berupa pemerkosaan yang harus dilakukan adalah tidak membuang apapun yang dikenakannya saat mengalami kekerasan seksual ini, segera melaporkan ke pihak kepolisian maupun instansi pendamping. Para korban biasanya malah akan membuang semua barang yang dimungkinkan akan mengingatkannya pada peristiwa tersebut. Padahal jika masuk ke ranah hukum hal pertama yang akan ditanya adalah barang bukti. Selain itu, korban bisa memberitahu orang-oang yang bisa dipercaya karena selama ini pelaku biasanya adalah orang terdekat yang dikenal.
Perempuan sebagai korban kekerasan lebih susah untuk coming out. Mereka menganggap bahwa dirinya berdosa karena melakukan hal yang paling nista sehingga untuk meminta keterangan dari yang bersangkutan akan sangat susah apalagi ada kesadaran dari korban untuk melapor. Untuk memutus mata rantai kekerasan dalam pacaran ini akan susah karena korban merasakan hal ini sebagai aib, apalagi jika pelaku/ laki-laki menceritakan kekerasan ini kepada pasangan barunya. Sehingga pasangan barunya tersebut akan merasa bahwa sudah pernah ada kasus serupa seolah dia ada temannya. Bagi pasangan sebelumnya ini akan menambah tekanan psikis. Hal ini akan tambah sulit untuk diputus karena banyak remaja yang masih tidak tahu informasi tentang kekerasan ini.
Ini menjadi tugas bersama untuk memberikan informasi tersebut kepada masyarakat. Hal paling pokok, informasi ini harus sudah diperoleh anak dari lingkungan keluarganya karena merupakan pranata pertama dimana anak bisa belajar mengenal segala hal. Namun hal ini menjadi sulit dilakukan apabila orang tuanya sendiri belum pernah mengetahui informasi tentang kekerasan dalam pacaran maupun kekerasan seksual. Oleh karena itu, instansi kedinasan dan lembaga swadaya masyarakat terkait harus terus memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui sosialisasi maupun kampanye tentang kekerasan ini. Institusi pendidikan seperti sekolah pun seharusnya memiliki peranan penting. Namun sejauh ini mereka masih menganggap tabu terkait dengan kekerasan dalam pacaran maupun kekerasan seksual karena dikhawatirkan para siswa malah akan mempraktekkan apa yang mereka ketahui. Padahal itu merupakan hal primer yang harus diketahui oleh para remaja. Bahkan beberapa PIK-ER yang ada di sekolah-sekolah sudah dihapuskan.
Mengenai RKUHP yang termuat dalam pasal 490 dan 496 banyak kajian yang menganggap permisif terhadap pencabulan yang akan meningkatkan kekerasan dalam pacaran. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jika melakukan hubungan seksual dengan anak dapat dipidana maksimal 12 tahun. Pasal tersebut seolah-olah melegitimasi atau membolehkan seseorang untuk melakukan hubungan seksual dengan anak, apakah perkosaan, kekerasan maupun paksaan. Hal tersebut bertentangan dengan UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa anak-anak harus dilindungi yang dalam konteks ini adalah Negara. Kalau ditafsirkan bahwa anakpun tidak akan mempermasalahkan atau dipermasalahkan saat melakukan hubungan seksual, hal itu akan menambah banyak kasus kekerasan terhadap anak.
Sebagai orang tua perlu mendengarkan anak dengan cara mengajak mereka berbicara. Apabila ditemukan sesuatu yang tidak semestinya jangan langsung memarahi anak, karena mereka pasti tidak mau membuka diri dan lebih memilih bercerita ke orang lain atau temannya. Hal yang sulit dari orang tua adalah menjadi dewasa untuk menghadapi kenyataan dan mendengarkan cerita anak. Setelah diajak bicara, apabila anak tidak mau maka harus ditunggu sampai dia mau bicara. Ketika anak sudah mau diajak bicara, hindari untuk menyalahkan. Setelah itu orang tua harus tetap bersikap wajar sambil mencari informasi dari anak sebanyak-banyaknya. Orang tua tidak perlu menampakkan kegelisahan di depan anak. Terkait dengan kontrol dan kebebasan, setidaknya orang tua tidak perlu khawatir dengan informasi yang beredar. Hal penting yang perlu dilakukan adalah membuat batasan atau perjanjian kepada anak untuk melatih mereka lebih bertanggungjawab.
*Disarikan dari talkshow radio
You may like
Berita
Coaching Local Fundrising (LFR) Mitra Wacana
Published
2 months agoon
24 September 2024By
Mitra Wacana
Mitra Wacana mengadakan Coaching Local Fundrising (LFR) bersama Karel Tuhehay fasilitator Yayasan Satunama pada Selasa (24/9/24) pukul 10.00 s/d 12.00 WIB di Mitra Wacana.
Acara ini berkaitan dengan tindak lanjut pelatihan di Yayasan Satunama pada Maret 2024 yang lalu tentang Local Fundrising (LFR).