web analytics
Connect with us

Opini

Biar Tua Tapi Semangat Tetap Masih Muda

Published

on

Dokumentasi sekolah Dusun P3A SEJOLI Punggelan Banjarnegara

Oleh Misdariah (P3A SEJOLI Banjarnegara)

Usia saya sudah tua, 53 tahun tapi soal aktif di desa saya sejak muda sudah aktif di desa. Saya sudah 25 tahun sebagai kader Posyandu di dusun Cilalung desa Bondolharjo, Kecamatan Punggelan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Saya pun selalu aktif dalam kegiatan di desa. Saya adalah salah seorang yang ikut pertama kali dengan kegiatan Mitra Wacana WRC.Saya selalu ikut kegiatan Mitra Wacana WRC pada saat itu, kalau untuk saat ini karena kendala transportasi saya kurang bisa aktif kecuali jika kegiatannya di dekat rumah, saya baru bisa ikut atau ada yang mengantar.

Hal yang paling berkesan dengan Mitra Wacana WRC adalah saat saya pertama kali bertemu dengan Pak Martin, itu pertama kali saya bertemu dan berjabat tangan dengan orang asing atau orang dari luar negeri tepat nya dari Negara Jerman. Saya sangat senang, Martin juga sangat ramah, dia menyapa dan bertanya kepada saya: “Apa kamu takut dengan saya?” saya menjawab: “ Saya tidak takut Mister, saya senang sekali bisa bertemu dengan anda.” Pak Martin tertawa dan mengacungi jempol pada saya. Peristiwa itu sangat berkesan bagi saya dan tidak akan saya lupakan seumur hidup saya.

Setelah pertemuan dengan Pak Martin tersebut, saya aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Mitra Wacana WRC. Banyak hal dan ilmu baru yang saya dapatkan, saya yang semula tidak tahu apa itu kekerasan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan penanganan korban kekerasan sedikit demi sedikit menjadi tahu meski masih merasa takut bila ada kasus tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak di desa Bondolharjo.

Meskipun sudah diberi ilmu dan pengetahuan tentang Undang-Undang, pencegahan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan serta menjadi anggota P3A SEJOLI, saya masih takut jika mendapatkan laporan soal kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Saya masih takut dengan anggapan masyarakat dikira orang yang ikut campur dalam permasalahan orang lain. Saya juga sering mendapat nasehat serta peringatan kalau ada kasus, jangan suka ikut campur dalam permasalahan orang lain nanti ndak ada yang marah dan tidak terima dengan tindakan kita. Malah bisa jadi nanti kita yang akan mendapatkan getahnya atau resikonya.
Keluarga juga memberi nasihat yang sama, hal tersebut membuat saya masih takut dan diam saat kasus-kasus kekerasan terjadi di sekitar lingkungan.

Lebih baik saya diam daripada mendapatkan ancaman dan tekanan dari berbagai pihak. Namun satu sisi saya juga bingung, karena sudah diajari dan mendapatkan ilmu tentang perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Saat ini saya hanya bisa mendukung Sejoli dan aktif di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dulu sambil menunggu masyarakat mengerti tentang sebuah kebenaran

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending