Opini
Testimoni Penanganan Kasus
Published
8 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Lilis Sutinah
Ternyata kekerasan itu ada di sekitar kita, pelakunya adalah orang-orang terdekat kita, maka dari itu kita sebagai orang tua harus super waspada. Saya akan menceritakan pengalaman saya selama menjadi anggota Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) Lentera Hati (LH) dan pertama kalinya menangani anak yang disekolahnya mendapat pelecehan seksual.
Pertama saya mendapat laporan dari orang tua korban yang mengadu bahwa di sekolah anaknya mendapat perlakuan yang tidak wajar dari salah satu gurunya. Anak itu menyampaikan kepada ibunya kalau di daerah dadanya suka diremas-remas guru tersebut dan itu adalah guru agama. Orang tuanya menyampaikan ke saya, “Kamukan anggota P3A, tolong bantu anak saya, ada guru yang suka kurang ajar disekolah.” Tenyata tidak disangka dan tidak di duga sama sekali, dari 10 korban tersebut salah satunya adalah anak saya sendiri. Dia tidak mau cerita karena takut.
Saya langsung menghubungi teman-teman P3A Lentera Hati.Kami bersama-sama bergerak (bertindak), bagaimana caranya supaya oknum guru tersebut mendapat hukuman. Keesokan harinya salah satu anggota P3A Lentera Hati mendatangi pihak sekolah. Dari pihak sekolah langsung mendatangi saya, mereka tidak terima kalau salah satu temannya disalahkan. Tanpa mencari kebenarannya, pihak sekolah balik menyalahkan saya, katanya saya bisa dimasukan penjara, itu ancaman dari pihak sekolah.
Pihak sekolah mengatakan kalau itu bukan pelecehan seksual karena diluar baju, itu tanda sayang guru ke murid karena oknum guru tersebut tidak mempunyai anak perempuan.
Terus terang saya berdebar-debar, karena kurangnya keberanian saya untuk berbicaradi depan umum, namun suatu keajaiban, saya tidak takut, saya menjawab dengan bangga dan bicara, “Saya anggota P3A Lentera Hati sudah diakui dan bersertifikat.
Lembaga P3A Lentera Hati dalam bimbingan Mitra Wacana WRC dilindungi oleh negara, Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan (PPT), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Di Mitra WacanaWRC juga mempunyai pengacara Bu, kalau Ibu mau melaporkan saya, saya gak takut.”Padahal dalam hati saya berdebar-debar. Sejenak pihak sekolah terdiam, yang pertamanya bicara dengan nada tinggi, sedikit-sedikit mereka bicara dengan nada biasa.
Dari pihak sekolah meminta maaf dan mereka minta diselesaikan secara kekeluargaan, karena mereka tidak mau nama sekolah tercemar. Sebenarnya tidak cukup bagi saya, saya ingin guru agama itu mendapat pelajaran (hukuman). Keesokan harinya sekolah itu kedatangan DinasPendidikan (Dindik), beliau memanggil para korban, tetapi hanya sebagian dan di tanya satu bersatu.
Dindik: “Yang suka di pegang Pak Guru apa saja?”
Korban: “Pertama kepala, terus ke pipi, memijit pundak dari belakang lalu ke dada.”
Dengan polos mereka menjawab tanpa kebohongan dan tanpa direkayasa. Akhirnya pihak sekolah mengambil tindakan, guru agama itu tidak tahu kemana, dihukum apa, yang jelas tidakterlihat lagi di sekolah.
Sebenarnya saya kurang puas dengan semua ini, tetapi yang penting itu bisa menjadi pelajaran bagi guru agama tersebut. Doa dari saya mudah-mudahan guru itu menyadari dan bertobat serta yang terpenting tidak mengulangi lagi kepada murid-murid lainnya. Mudah-mudahan juga di setiap sekolah jangan sampai ada kejadian kekerasan, karena sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak. Amin.
“Buat Mas Mansur, CO Mitra Wacana WRC yang bertugas di Desa Berta, terimakasih dalam kasus ini selalu mendampingi saya. Buat Mitra Wacana WRC.Terimakasih tanpa Mitra Wacana WRC,Lilis tidak akan seberani ini.”
You may like
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
1 week agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.







