Opini
Tantangan P3A Lentera Hati Berta Banjarnegara
Published
7 years agoon
By
Mitra Wacana![Dokumentasi Pertemuan Rutin P3A Lentera Hati Berta](https://mitrawacana.or.id/wp-content/uploads/2018/03/Dokumentasi-Pertemuan-Rutin-P3A-Lentera-Hati-Berta.jpg)
Oleh Samiarti dan Rasmini (Anggota P3A Lentera Hati)
Dari awal pembentukan P3A Lentera Hati sampai sekarang telah terjadi pergantian anggota. Dulu anggota P3A Lentera Hati terdiri dari perwakilan semua grumbul atau dusun yang ada di Desa Berta, yaitu Danayuda, Pete, Krajan, Mertelu, dan Kalibangkeng. Sepanjang perjalanan P3A Lentera Hati dari tahun 2014 sampai dengan 2017 ini mengalami banyak kendala dan tantangan organisasi, antara lain:
1. Kurang kompak antar sesama anggota
Hal ini dikarenakan banyak faktor, baikfaktor internal maupun eksternal.Diantaranya sesama anggota ada yang memiliki masalah pribadi kemudian dibawa ke dalam kelompok, sehingga menciptakan suasana yang kurang sehat. Dan karena sifat dan karakter masing-masing anggota berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan beberapa anggota keluar dari P3A Lentera Hati, bahkan ada anggota satu grumbul yang keluar semua, sehingga sampai sekarang tidak ada perwakilan anggota dari grumbul itu.
2. Intensitas pertemuan antar anggota
Pertemuan rutin anggota perwakilan masing-masing grumbul jadwalnya sebulan sekali. Itu pun kehadiran anggota tidak penuh 100%, ada saja alasan dan sebab anggota tidak hadir. Akibatnya informasi yang diterima oleh anggotatidak merata, tergantung hubungan kedekatan masing-masing anggota.
3. Kurangnya sosialisasi
Sosialisasi yang dilakukan oleh P3A Lentera Hati baru menjangkau sekolah dasar (SD) dan beberapa rumah anggota di dusun-dusun di wilayah Desa Berta. Di samping itu sosialisasi juga dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP)di wilayah Kecamatan Susukan. Kurangnya sosialisasi diantaranya disebabkan wilayah Desa Berta yang luas, medan yang sulit, dan jumlah penduduk yang banyak sampai di pelosok-pelosok gunung.
4. Kemampuan personal anggota
Beberapa anggota kadang mundur sebelum mencoba karena merasa kurang percaya diri dalam melaksanakan program kerja P3A LH. Hal ini disebabkan mereka merasa tingkat dan kemampuan akademis yang kurang tinggi. Disisi lain ada anggota yang selalu penasaran ingin mencoba hal baru atau pelajaran baru, sehingga tampak menonjol dibanding anggota yang lain. Akhirnya setiap pelaksanaan program kerja selalu orang-orang itu saja yang tampil.
5. Negoisasi dengan suami/keluarga
Sampai sekarang masih ada saja suami yang merasa wibawanya berkurang jika istrinya aktif berkegiatan, sehingga istri dilarang ikut kegiatan. Ada juga anggapan bahwa istri yang mengikuti kegiatan P3A Lentera Hati menjadi berani membantah suami karena sudah mengetahui materi tentang perlindungan perempuan dan anak. Mereka juga khawatir istri akan menuntut saat terjadi ketimpangan relasi suami istri. Intinya suami tidak suka karena dianggap istri akan berani melawan suami.
6. Sibuk
Alasan klasik bagi ibu-ibu anggota P3A LH adalah adanya beberapa anggota yang kurang bagus dalam memanajemen waktunya, sehingga ketika ada jadwal pertemuan rutin atau pelaksanaan program kerja,anggota masih disibukkan dengan macam-macam pekerjaan rumah tangga, sehingga datang terlambat, bahkan kemudian tidak hadir.
7. Hanya sebagian anggota yang aktif
Hal ini berhubungan dengan kemampuan personal dan manajemen waktu anggota P3A LH, sehingga imbasnya anggota yang berdedikasi dan bisa mengatur waktulah yang dapat terus aktif melakukan kegiatan organisasi.
8. Terjadi benturan waktu atau jadwal dengan kegiatan lain
Anggota P3A Lentera Hati hampir semua merangkap di keanggotaan atau pengurus PKK, majelis ta’lim,atau kader Posyandu. Oleh karena masing-masing organisasi mempunyai program dan jadwal kerja masing-masing,sehingga sering berbenturan waktunya. Anggota P3A LH terpaksa harus memilih untuk mengikutikegiatan yang mana.
9. Kurang merata dalam membaur dengan masyarakat
Ini kaitannya dengan wilayah yang luas sampai pelosok gunung dan jumlah penduduk yang banyak. Ada tipe masyarakat yang tidak peduli hanya mengutamakan mencari nafkah saja, tidak bersedia mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan.
10. Manajemen waktu dan tanggung jawab
Apabila akan ada kegiatan P3A Lentera Hati seharusnya anggota dapat tepat waktu. Selama ini sering terlambat, kegiatan tidak tepat waktu. Ada yang suka bersantai dan suka menunda-nunda pekerjaan. Ini tentu menghambatyang lain. Ada juga yang melempar tanggung jawab ke anggota yang lain dengan alasan yang kurang masuk akal, padahal sudah dibagi tugasnya masing-masing.
11. Dukungan dari pemerintah desa masih belum optimal
Hal ini kemungkinandikarenakan masih mengurusi hal yang lebih penting, yaitu Surat Keputusan (SK) P3A Lentera Hati. Sampai sekarang SK P3A LH yang baru belum disahkan. Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)Desa Berta belum terbentuk. Peraturan Desa (Perdes) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak juga belum di musyawarahkan kembali apalagi ditebitkan, padahal sudah terjadi beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Desa Berta.
You may like
Opini
Perdagangan Orang: Kejahatan Lintas Batas dan Fatamorgana Penanganan Kasus
Published
2 weeks agoon
30 December 2024By
Mitra Wacana![](https://mitrawacana.or.id/wp-content/uploads/2024/12/terrifying-hands-silhouettes-studio.jpg)
Penulis : Satrio Dwi Haryono (Komunitas Dianoia, Sukoharjo)
“Semua negara terkena dampak perdagangan manusia”, Ujar Rebeca Miller, Koordinator Regional UNODC untuk Perdagangan Manusia dan Penyelendupan Migran.
Perkataan di atas terlihat seperti biasa saja. Namun, hemat penulis perkataan tersebut menyimpan rasa keprihatinan yang begitu mendalam. Kata ‘dampak’ bukan diartikan sebagai ‘pengirim’ dan ‘penerima’ atau ‘penjual’ dan ‘pembeli’ saja melainkan yang lebih tepat ialah ‘korban’.
Di mana kebanyakan informasi yang bertebaran mengatakan bahwa korban perdagangan orang berasal dari negara ketiga saja. Padahal tidak, negara maju seperti Amerika Serikat yang notabene memiliki regulasi yang kuat dalam penanganan dan pencegahan TPPO saja masih memiliki jumlah kasus human trafickking yang tak kalah besarnya. Sehingga setiap negara pun, bukan sekadar pembeli atau penerima tetapi korban.
Arus globalisasi yang telah melemahkan batas-batas teritori negara seakan-akan menjadi dua mata pisau yang tajam. Di satu sisi mempermudah migrasi, di satu sisi yang lain juga mempermudah tindak perdagangan orang.
Tak diragukan lagi, human trafficking adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM yang kejam namun jarang disorot. Karena kejahatan perdagangan orang bersifat kompleks dan dinamis, terjadi dalam berbagai konteks dan sulit dideteksi. Sehingga data yang terjadi pun sangat minim. Dan hal itu juga beriringan dengan tantangan terbesar dalam mengembangkan respons anti perdagangan orang yang terarah dan juga mengukur dampaknya.
Padahal, lapisan penderitaan yang didera korban pun sangat tebal. Dalam satu kasus kerja paksa, satu korban dapat mendera tumpukan beban kesehatan fisik, mental, finansial bahkan seksual. Belum lagi bentuk kejahatan lainnya yang masih dalam koridor perdagangan orang seperti tenaga militer untuk peperangan, perdagangan organ, bahkan pernikahan pesanan dan lain sebagainya.
Dalam lanskap internasional, terdapat Protokol Palermo yang lahir dari perjanjian internasional sekaligus bagian dari kovensi PBB memiliki upaya untuk melawan Kejahatan Terorganisasi Transnasional.
Protokol Palermo lahir dari perjanjian internasional yang menjadi bagian dari Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisasi Transnasional (UNTOC). Protokol ini bertujuan untuk memberi kerangka global dalam upaya mencegah dan memberantas perdagangan orang, berpihak pada korban dan membangun kerja sama antar negara.
Melansir tulisan Linn Larsson (2021) yang menyoal Protokol Palermo dengan mendefiniskan perdagangan manusia sebagai segala bentuk eksploitasi seperti tindakan merekrut, menampung, mentransfer disertai ancaman atau pemaksaan lainnya seperti penipuan, penculikan, atau segala bentuk memanfaatkan kelemahan individu secara umum.
Dengan memberikan pedoman umum dalam penanganan kasus perdagangan manusia Protokol Palermo ini telah diratifikasi oleh negara kita melalui UU No. 14 Tahun 2009. Sebelum itu ada UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Tentu, pendekatan kontekstual digunakan negara kita untuk membaca Protokol Palermo sehingga regulasi yang tercantum pun lebih spesifik pada penanganan kasus di tingkat nasional.
Melansir dari Kompas.com (4/5/2023), Chrisanctus Paschalis Saturnus, Pimpinan Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPMP) Keuskupan Pangkalpinang dalam opininya yang berjudul Perdagangan Orang Sebagai Persoalan Republik menyebutkan bahwa penyebab lemahnya penegakan hukum pada kasus TPPO ialah penindakan kasus yang beririsan dengan UU Ketenagakerjaan yang fokus pada administrasi berujung pada manipulasi infrafstruktur kependudukan, KemenPPA yang notabene ialah lembaga non departemental menjadi kesulitan dalam memegang garis koordinasi, dan kasus perdagangan manusia kalah prioritasnya dengan agenda seperti anti-terorisme, anti-narkoba, bahkan selundupan baju bekas.
Hal ini menjadi miris ketika negara minim hadir dalam kasus-kasus kemanusiaan seperti ini. Meskipun jaringan bawah tanah terorisme dan narkoba tak kalah rumitnya dengan terorganisinya para kriminal perdagangan orang. Namun, sangat aneh ketika kasus TPPO tidak menjadi agenda utama pemerintah dalam menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman bagi warganya. Mengingat kasus kemanusiaan selalui beririsan dengan manusia, tanpa condong pada kasus kemanusiaan yang mana dan mana yang mudah ditangani.
Melampaui Batas Wilayah dan Fatamorgana Penanganan Kasus
Dalam banyak kasus perdagangan manusia, batas wilayah geografis menjadi hilang. Hal tersebut dikarenakan perdagangan yang dilakukan sudah melibatkan dua negara atau lebih. Penulis menduga bahwa lintas negara begitu langgeng ketimbang dalam wilayah satu negara karena kebutuhan akan tenaga di negara maju meningkat dan jurang kemiskinan di negara berkembang semakin mendalam.
Tentu dampak yang didera korban akan lebih berlapis ketika ia berada di luar jangkauan negara asal. Mengutip penelitian yang digarap Evie Ariadne, dkk yang berjudul Human Trafficking in Indonesia: The Dialectic of Poverty and Corruption (2021) menyebutkan bahwa ekonomi dan mencari pekerjaan adalah motivasi terbesar yang menghanyutkan korban dalam ekosistem kejahatan lintas batas ini. Pasalnya, sebelum diberangkatkan para korban kerap kali dijanjikan dengan gaji besar dan hidup mapan. Kemudian, dokumen identitasnya seperti paspor disita, sehingga mereka tidak dapat melarikan diri.
Menurut laporan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dari tahun 2020-2023 pekerja migran asal Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia tersebar di daerah Eropa Timur, Timur Tengah, dan Asia. Dalam hal ini, Polandia menjadi urutan pertama dengan jumlah 364 korban. Disusul dengan Arab Saudi sebanyak 220 korban, Kamboja yang berjumlah 212 korban, Malaysia sebanyak 105 korban, Taiwan dengan jumlah 92 korban dan masih banyak lagi yang tersebar di 38 negara lainnya.
Pada tahun 2023, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menangani 1346 kasus TPPO yang hingga laporan tersebut dirilis masih menyisakan 600-an kasus yang belum selesai. Minimnya keberpihakan pada korban masih saja dipegang erat petugas penanganan kasus yang dalam hal ini ialah kepolisian.
Sangat tidak masuk akal memang, ketika korban dengan kesehatan fisik, mental dan finansial tidak baik-baik saja kasusnya malah mangkrak tanpa ditindaklanjuti. Saenudin, salah satu korban TPPO yang bekerja selama 19 bulan di bawah bendera Taiwan telah melaporkan dan kasusnya mangkrak selama 9 tahun di meja kepolisian. Ia sudah merasa bosan ketika kepolisian memeriksanya berkali-kali tanpa tindak lanjut penangkapan pelaku.
Selain ketidakberpihakannya kepada korban, pemahaman polisi terhadap TPPO dinilai juga belum merata. Pasalnya, beberapa kasus TPPO, pollisi malah menggunakan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) ketimbang UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Memang banyak kasus menjerat perusahaan ilegal yang tidak memenuhi hak Pekerja Migran, padahal kesempatan untuk mendalami kasus TPPO dengan berhadapan langsung dengan korban disingkirkan begitu saja.
Belum lagi pemerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap korban. Laporan Project Multatuli yang berjudul ABK Mencari Keadilan di Tangan Bareskrim Polri: Dari Dugaan Pemerasan oleh Penyidik Satgas TPPO hingga Penyelidikan Dikalim Berlarut-larut (2022) menyebutkan kesaksian korban yang diperas oleh penyidik dengan sejumlah uang 100 juta. Ditambah kerja sama gelap sindikat pelaku dengan penyidik untuk tidak menindaklanjuti kasus dan memenuhi berkas-berkas kasus yang perlu dipenuhi.
Tak heran jika banyak kasus mangkrak yang seakan-akan berjalan di tempat. Ribuan laporan kasus seperti diselidiki dengan cermatnya, namun hanya bayang-bayang tak nyata seperti fatamorgana di gurun pasir.
Memang, perdagangan orang menjadi keprihatinan global yang menyeluruh. Tetapi, setidaknya, melalui coretan singkat ini dapat membuka pikiran kita dan memberikan edukasi kepada khalayak mengenai perdagangan orang yang notabene adalah kejahatan yang sama kejamnya dengan kasus kemanusiaan yang lain serta dapat menumbuhkan sensibilitas masyarakat untuk dapat mengendus kasus ini dengan baik. Namun, hal ini dikeruhkan tertimbunnya kasus-kasus kemanusiaan khususnya perdagangan orang dengan kasus-kasus lain yang kadang kala urgensinya tidak seberapa.