web analytics
Connect with us

Opini

Tantangan P3A Lentera Hati Berta Banjarnegara

Published

on

Dokumentasi Pertemuan Rutin P3A Lentera Hati Berta

Oleh Samiarti dan Rasmini (Anggota P3A Lentera Hati)

Dari awal pembentukan P3A Lentera Hati sampai sekarang telah terjadi pergantian anggota. Dulu anggota P3A Lentera Hati terdiri dari perwakilan semua grumbul atau dusun yang ada di Desa Berta, yaitu Danayuda, Pete, Krajan, Mertelu, dan Kalibangkeng. Sepanjang perjalanan P3A Lentera Hati dari tahun 2014 sampai dengan 2017 ini mengalami banyak kendala dan tantangan organisasi, antara lain:

1. Kurang kompak antar sesama anggota

Hal ini dikarenakan banyak faktor, baikfaktor internal maupun eksternal.Diantaranya sesama anggota ada yang memiliki masalah pribadi kemudian dibawa ke dalam kelompok, sehingga menciptakan suasana yang kurang sehat. Dan karena sifat dan karakter masing-masing anggota berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan beberapa anggota keluar dari P3A Lentera Hati, bahkan ada anggota satu grumbul yang keluar semua, sehingga sampai sekarang tidak ada perwakilan anggota dari grumbul itu.

2. Intensitas pertemuan antar anggota

Pertemuan rutin anggota perwakilan masing-masing grumbul jadwalnya sebulan sekali. Itu pun kehadiran anggota tidak penuh 100%, ada saja alasan dan sebab anggota tidak hadir. Akibatnya informasi yang diterima oleh anggotatidak merata, tergantung hubungan kedekatan masing-masing anggota.

3. Kurangnya sosialisasi

Sosialisasi yang dilakukan oleh P3A Lentera Hati baru menjangkau sekolah dasar (SD) dan beberapa rumah anggota di dusun-dusun di wilayah Desa Berta. Di samping itu sosialisasi juga dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP)di wilayah Kecamatan Susukan. Kurangnya sosialisasi diantaranya disebabkan wilayah Desa Berta yang luas, medan yang sulit, dan jumlah penduduk yang banyak sampai di pelosok-pelosok gunung.

4. Kemampuan personal anggota

Beberapa anggota kadang mundur sebelum mencoba karena merasa kurang percaya diri dalam melaksanakan program kerja P3A LH. Hal ini disebabkan mereka merasa tingkat dan kemampuan akademis yang kurang tinggi. Disisi lain ada anggota yang selalu penasaran ingin mencoba hal baru atau pelajaran baru, sehingga tampak menonjol dibanding anggota yang lain. Akhirnya setiap pelaksanaan program kerja selalu orang-orang itu saja yang tampil.

5. Negoisasi dengan suami/keluarga

Sampai sekarang masih ada saja suami yang merasa wibawanya berkurang jika istrinya aktif berkegiatan, sehingga istri dilarang ikut kegiatan. Ada juga anggapan bahwa istri yang mengikuti kegiatan P3A Lentera Hati menjadi berani membantah suami karena sudah mengetahui materi tentang perlindungan perempuan dan anak. Mereka juga khawatir istri akan menuntut saat terjadi ketimpangan relasi suami istri. Intinya suami tidak suka karena dianggap istri akan berani melawan suami.

6. Sibuk

Alasan klasik bagi ibu-ibu anggota P3A LH adalah adanya beberapa anggota yang kurang bagus dalam memanajemen waktunya, sehingga ketika ada jadwal pertemuan rutin atau pelaksanaan program kerja,anggota masih disibukkan dengan macam-macam pekerjaan rumah tangga, sehingga datang terlambat, bahkan kemudian tidak hadir.

7. Hanya sebagian anggota yang aktif

Hal ini berhubungan dengan kemampuan personal dan manajemen waktu anggota P3A LH, sehingga imbasnya anggota yang berdedikasi dan bisa mengatur waktulah yang dapat terus aktif melakukan kegiatan organisasi.

8. Terjadi benturan waktu atau jadwal dengan kegiatan lain

Anggota P3A Lentera Hati hampir semua merangkap di keanggotaan atau pengurus PKK, majelis ta’lim,atau kader Posyandu. Oleh karena masing-masing organisasi mempunyai program dan jadwal kerja masing-masing,sehingga sering berbenturan waktunya. Anggota P3A LH terpaksa harus memilih untuk mengikutikegiatan yang mana.

9. Kurang merata dalam membaur dengan masyarakat

Ini kaitannya dengan wilayah yang luas sampai pelosok gunung dan jumlah penduduk yang banyak. Ada tipe masyarakat yang tidak peduli hanya mengutamakan mencari nafkah saja, tidak bersedia mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan.

10. Manajemen waktu dan tanggung jawab

Apabila akan ada kegiatan P3A Lentera Hati seharusnya anggota dapat tepat waktu. Selama ini sering terlambat, kegiatan tidak tepat waktu. Ada yang suka bersantai dan suka menunda-nunda pekerjaan. Ini tentu menghambatyang lain. Ada juga yang melempar tanggung jawab ke anggota yang lain dengan alasan yang kurang masuk akal, padahal sudah dibagi tugasnya masing-masing.

11. Dukungan dari pemerintah desa masih belum optimal

Hal ini kemungkinandikarenakan masih mengurusi hal yang lebih penting, yaitu Surat Keputusan (SK) P3A Lentera Hati. Sampai sekarang SK P3A LH yang baru belum disahkan. Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)Desa Berta belum terbentuk. Peraturan Desa (Perdes) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak juga belum di musyawarahkan kembali apalagi ditebitkan, padahal sudah terjadi beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Desa Berta.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending