web analytics
Connect with us

Opini

RUU Ormas, Perlukah?

Published

on

RUU

Demokratisasi Indonesia yang telah berlangsung lebih satu dekade, sejak reformasi tahun 1998, telah berhasil mendorong lahirnya perubahan di beberapa aspek kehidupan berbangsa. Penataan institusi dan sistem bernegara telah dilakukan, sekalipun masih belum menjamin adanya pelembagaan menjadi sistem yang lebih mapan di masa mendatang. Begitu pula tumbuh pesat partisipasi masyarakat di berbagai hal dan tingkatan, menjadi penanda demokrasi bekerja.

Dalam konteks itu, jaminan hak-hak kebebasan bagi warga negara dan masyarakat sipil yang berdaya menjadi kunci kokohnya demokrasi. Karena posisi dan perlakuan terhadap masyarakat sipil menjadi penentu kelangsungan demokrasi, maka tantangan serius yang harus dijawab adalah bagaimana negara mampu melindungi terwujudnya kebebasan partisipasi masyarakat sipil sebagaimana diamanatkan dalam UUD ’45.

Dalam waktu dekat ini, direncanakan pada tgl 12 April 2013, DPR-RI akan mengesahkan rancangan undang-undang organisasi kemasyarakatan (RUU ORMAS). Suatu rancangan undang-undang yang dinilai banyak pihak kontroversial, baik dari sisi sejarah, konteks, substansi dan implikasi yang ditimbulkannya. RUU ORMAS ini menyimpan banyak problem serius, yang membahayakan kelangsungan demokrasi dan peran partisipatif masyarakat sipil ke depan.

Atas hal itu, kita diingatkan adanya UU yang sama produk Orde Baru yakni UU No. 8 tahun 1985 tentang ORMAS. Watak regulasi produk rezim otoriter saat itu adalah membungkam kebebasan berekspresi dan berserikat masyarakat sipil dalam disain korporatik. Regulasi itu sebagai instrument pemerintah untuk mengontrol warganya agar tidak tumbuh partisipasi kritis pengimbang jalannya kekuasaan. Terbukti UU ORMAS versi Orde Baru telah melumpuhkan masyarakat dan mereproduksi watak kekuasaan yang otoriter. Masyarakat tidak berdaya, sementara negara melakukan represi dengan sejumlah pelanggaran atas konstitusi.

Sesungguhnya ORMAS bukanlah bentuk yang dikenal dalam hukum Indonesia ataupun di berbagai negara civil law lainnya. Tetapi, mengapa Pemerintah dan DPR di era reformasi tidak memperhatikan itu? Apakah kita akan mengulang pengalaman buruk di era Orde Baru, padahal saat ini kita sedang membangun konsensus menuju demokrasi?

Melacak konteks regulasi yang kali ini diinisiasi oleh DPR, secara eksplisit Pemerintah dan DPR berupaya membatasi ruang gerak masyarakat, dengan dalil-dalil dan anggapan seolah partisipasi warga menjadi ancaman. Tafsir semacam ini terekspresikan dalam perdebatan yang berlangsung sejauh ini, serta tercermin dalam pasal demi pasal draft RUU ORMAS.

RUU ORMAS kian meneguhkan praktik birokratisasi, di mana pengaturan prosedur partisipasi warga yang begitu membatasi dan mengontrol dengan pendekatan politik administrasi, yang berimplikasi justru mematikan inisiasi masyarakat sipil. Corak dan pola itu jelas kontraproduktif dengan demokratisasi yang tengah berlangsung.

Padahal, dalam pengalaman praksis menunjukkan, betapa besar peran organisasi masyarakat sipil dalam memberdayakan masyarakat saat negara (dalam hal ini pemerintah) tidak responsif memenuhi tugas dan tanggung jawabnya. Spirit voluntarism dan gerakan sosial yang dimotori organisasi masyarakat sipil telah mampu mengimbangi dan mengontrol kekuasaan agar tercegah potensi otoriter dari suatu pemerintahan. Hal-hal positif semacam ini tidak menjadi pertimbangan, tetapi justru sebaliknya, logika Pemerintah dan DPR cenderung melihat organisasi masyarakat sebagai ancaman. Cara berfikir dan pola kekuasaan semacam ini jelas membahayakan masa depan demokrasi dan memungkinkan terjadinya praktek-praktek kekerasan, horizontal atau vertikal.
*)disarikan dari berbagai sumber

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Harmoni Kolaborasi Agama, Negara, dan Masyarakat dalam Mengatasi Krisis Lingkungan

Published

on

Sumber: freepik

Akbar Pelayati, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Uin Alauddin Makassar, Juga merupakan Aktivis HMI MPO Cabang Makassar.

Krisis lingkungan bukan hanya sekadar bencana yang akan melanda bumi kita; ini adalah sebuah panggilan yang mendesak kita untuk bertindak. Di tengah gemerlapnya pergulatan isu-isu global seperti perubahan iklim dan penurunan biodiversitas, dunia kini membutuhkan respons holistik. Itulah mengapa kolaborasi antara agama, negara, dan masyarakat menjadi semakin penting untuk memecahkan masalah dalam menangani tantangan lingkungan.

Dari sudut pandang agama, kita melihat bagaimana nilai-nilai moral dan spiritual memberikan landasan kuat untuk menjaga alam. Konsep ecotheology, misalnya, menggabungkan prinsip-prinsip agama dengan wawasan lingkungan, menawarkan perspektif baru tentang hubungan antara manusia dan alam. Ajaran Islam menekankan penghormatan terhadap lingkungan sebagai bagian integral dari iman, menjadikannya sumber inspirasi bagi individu dan komunitas untuk bertindak bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Di sisi lain, peran negara tidak bisa diabaikan. Melalui kebijakan lingkungan yang ketat, negara dapat menciptakan kerangka kerja yang mendukung praktik bisnis berkelanjutan. Program seperti PROPER di Indonesia bukan hanya sekadar alat evaluasi, tetapi juga sebagai pendorong bagi industri untuk bergerak menuju praktik yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, negara juga memiliki peran dalam menggalang kerjasama internasional untuk menangani masalah lingkungan secara bersama-sama.

Namun, tanggung jawab tidak hanya terletak pada pundak agama dan negara. Setiap individu dalam masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan. Dari tindakan sederhana seperti pengelolaan sampah hingga dukungan terhadap inisiatif lingkungan, setiap langkah kecil memiliki dampak yang besar dalam menjaga keberlanjutan Bumi.

Kolaborasi yang erat antara agama, negara, dan masyarakat adalah kunci untuk mengatasi krisis lingkungan. Dengan bersatu, kita dapat menjaga harmoni antara manusia dan alam, menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Tantangan ini bukan hanya panggilan untuk bertindak, tetapi juga kesempatan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi Bumi kita dan semua makhluk yang menghuninya.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending