web analytics
Connect with us

News

Mitra Chatting: Astriani – public education division

Published

on

Mitra Chatting. Wawancara dengan Astriani

On Friday (17/6/16), I spoke to Mbak Astriani from Mitra Wacana’s public education division. She has worked at Mitra Wacana for over five years in a variety of roles, holds a degree in counselling and is particularly passionate about children’s education.

Sophia: Please introduce yourself first.

Astriani: Thank you my name is Astriani, I work in the Mitra Wacana public education division.

I first joined Mitra Wacana in 2010 as a volunteer for data support and until now I have experienced working in several divisions. I have worked in the data support division, media division, as organisational secretary and I am currently in the public education division.

Sophia: Why did you want to become a Mitra Wacana activist?

Astriani: At Mitra Wacana, we can learn a lot about what gender is, how to prevent sexual violence against women and girls, and we can also learn ways to prevent the marginalisation of people. It’s so interesting when we join together at Mitra Wacana, for me that’s why I’m still here and why I’m still interested. Take the road to learning.

Sophia: What is children’s education?

Astriani: I think education is a lesson that is given to children, but the program we provide must be stimulating to the child because it is preparing the children for further education both physically and psychologically. It includes motor skills as well as mental and socio-emotional aspects too.

Sophia: Why are you particularly interested in children’s education?

Astriani: Because the child’s world is very interesting. It’s magic. Lots of surprises given by children when we interact with them. Every day evolves thinking and growth so I am very interested in the world of children.

Sophia: Can you please explain the principles of children’s education?

Astriani: There are six principles of children’s education:

  1. Oriented to the needs of children. As adults we only give stimulus and encouragement for development.
    2. Learning through play, children can explore, find, utilise and draw conclusions.
    3. Create a conducive environment for the child, so the child can learn. An environment that is safe, comfortable, and clean.
    4. Develop life skills. This is the process of habituation, so that children are disciplined, independent and responsible.
    5. Using a variety of educative and interesting mediums so we can prepare and encourage children to learn.
    6. Implemented gradually and repeatedly so that children can understand easily.

Sophia: Can you please explain the rights of the child.

Astriani: The rights of the child are:

  1. The right to life, the child has the right to life from when they are in the womb.
    2. The right to growth and development, children are allowed to grow and develop appropriately with their age.
    3. The right to protection, adults provide protection for children so that children are not exposed to violence.
    4. The right of participation, children are encouraged to express their opinions, have aspirations and when the child is speaking we should listen.

Sophia: Why do children need to be protected from of violence, especially sexual violence?

Astriani: Children are not yet able to protect themselves, as adults we have to protect these children, especially from sexual violence, and other violence. We can begin to teach children to be sensitive when there is violence. When there are strangers who give candy, for example, we can teach children to resist and scream if there is a stranger touching their body.

Sophia: What is Mitra Wacana doing to prevent violence against children?

Astriani: Mitra Wacana’s campaigns for the prevention of sexual violence against women and children. This was done with socialisation in schools and also through discussions with the children’s parents to learn what sexual violence is and how to prevent it.

Sophia: Thank you for joining me for Mitra Chatting today. Do you have a closing message?

Astriani: Let the children grow and develop as appropriate for their age. As adults we are only facilitating the task of the child to grow and develop to their full potential.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Apakah Perempuan Amerika dan Indonesia Sangat Berbeda?

Published

on

oleh Jacqueline Lydon – Volunteer di Mitra Wacana

Saya tumbuh dan besar di Amerika, saat ini tinggal di Indonesia sudah lima bulan, dan sudah tiga bulan ini magang di Mitra Wacana, saya terkejut ternyata adanya kesamaan kondisi antara perempuan di Indonesia dan Amerika.

Kalau dilihat sekilas, perempuan Amerika dan Indonesia mungkin memiliki perbedaan yang sepenuhnya berlawanan. 

Saat membandingkan keduanya, biasanya orang-orang fokus pada perilaku dan penampilan perempuan. Perempuan dihakimi tentang cara mereka berpakaian, cara mereka bertindak, dan betapa independennya mereka, misalnya. 

Orang Amerika mungkin menilai perempuan Indonesia berpakaian konservatif, tinggal di lingkungan rumah tangga, dan tampaknya tunduk pada suami mereka. Sementara itu, orang Indonesia mungkin menilai perempuan Amerika tidak menutupi tubuh mereka, merangsang secara seksual, tidak fokus pada peran domestik, atau terlalu keras dan menuntut.

Apa yang saya catat sejak berada di sini adalah yang pertama, bahwa perbedaan-perbedaan ini kurang terlihat daripada yang saya pikirkan, dan kedua, bahwa mereka tampaknya berasal dari budaya dan norma sosial yang berbeda. Ada berbagai cara untuk memahami gender dan peran gender, namun perempuan di Amerika dan Indonesia menginginkan keamanan, rasa hormat, dan memiliki suara.

Ada banyak kesamaan antara perilaku dan masalah perempuan di kedua negara.

  • 51,9% perempuan Indonesia adalah pekerja, dibandingkan dengan 57,1% perempuan Amerika.
  • 17,4% dari parlemen Indonesia adalah perempuan, dibandingkan dengan 23,9% dari legislatif Amerika.
  • Perempuan Indonesia terpilih pertama kali sebagai presiden pada tahun 2001, sementara belum ada seorang perempuan yang pernah menjadi presiden di Amerika.
  • Perempuan pertama yang bergabung dengan mahkamah agung Indonesia, Sri Widoyati Wiratmo Soekito, dilantik pada tahun 1968, sedangkan perempuan pertama yang bergabung dengan mahkamah agung Amerika adalah Sandra Day O’Connor pada tahun 1981, sekitar 15 tahun kemudian.

Ada banyak masalah — dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan — yang memiliki dampak luas pada perempuan di kedua negara, tetapi sulit untuk memiliki statistik yang akurat karena banyak perempuan tidak (atau tidak bisa) melaporkan insiden ini.  Tetapi berdasarkan apa yang dilaporkan, jelas bahwa ini adalah masalah utama di kedua negara. 

  • 3 dari 5 perempuan Indonesia dan 81% perempuan Amerika telah mengalami pelecehan seksual
  • 15% perempuan Indonesia dan lebih dari 1 dari 3 perempuan Amerika melaporkan menjadi korban kekerasan seksual atau pemerkosaan 
  • 16% perempuan Indonesia dan sekitar 25% perempuan A.S. telah melaporkan menjadi korban kekerasan pasangan intim (kekerasan fisik, seksual, atau psikologis dari pacar atau pasangan)

 

Dua negara dengan sikap dan perilaku perempuan dilihat sangat berbeda, mengejutkan bahwa ada persamaan keberhasilan dan perjuangan perempuan. 

 Baru tahun lalu, sebuah jajak pendapat di Amerika menemukan bahwa hanya 29% perempuan Amerika yang mengidentifikasi sebagai feminis. (Feminis: seorang yang percaya laki-laki dan perempuan harus punya hak sama). Di kedua negara, ada gerakan feminis dan anti-feminis (di Amerika, “meninism”; di Indonesia, “Indonesia tanpa feminisme”). Dalam kedua gerakan tersebut, suara perempuan ditekan; perempuan yang mengadvokasi diri mereka sendiri sering dianggap terlalu menuntut, dan masalah mereka diabaikan.

Mengapa ada begitu banyak penilaian untuk pilihan perempuan di kedua negara?

Sebagian dari hal tersebut didasarkan pada stereotip, yang terus dibangun tentang perempuan yang bertindak berbeda. Perempuan di setiap negara diajarkan bahwa peran budaya, perilaku, dan nilai-nilai mereka adalah pilihan yang lebih baik, dan jika mereka berpegang teguh pada itu, mereka akan menghindari masalah yang dihadapi oleh perempuan dalam budaya yang berbeda. Misalnya, untuk perempuan di Amerika, diajarkan bahwa menjadi lebih asertif akan membantu mereka mencapai lebih banyak perwakilan politik, dan perempuan di Indonesia diajarkan bahwa berperilaku sopan akan membantu mereka menghindari kekerasan atau pelecehan seksual. Namun kesamaan dalam statistik membuktikan bahwa bukan perilaku perempuan yang menyebabkan masalah ini, dan nasihat budaya untuk perempuan tidak akan menyelesaikan masalah.

Tentu saja, tidak ada jawaban sederhana untuk masalah sistemik ini.  Tapi, penyebab utama seksisme di seluruh dunia adalah patriarki — sistem yang telah dibangun untuk memperkuat laki-laki dan memperlemah perempuan. Sistem patriarki inilah yang telah menciptakan gagasan menyalahkan korban — untuk menghakimi dan menyalahkan perempuan atas penindasan yang mereka alami alih-alih sistem yang menyeluruh.  

Daripada melihat pilihan perempuan atau menilai mereka, kita harus melihat sistem patriarki yang lazim di kedua negara. 

Menurut saya, kita perlu berhenti fokus pada perilaku perempuan dan sebaliknya fokus pada cara masyarakat menilai dan menindas semua perempuan, dan kemudian kita harus membangun solidaritas untuk memecah sistem itu. Cita-cita bagaimana seorang perempuan seharusnya dan harus bertindak mungkin berbeda di kedua budaya, tetapi hal yang universal bahwa perempuan harus bebas dari kekerasan dan diperlakukan dengan bermartabat dan hormat.

Editor: Arif Sugeng W

 

 

 

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending