web analytics
Connect with us

Opini

Pierre Bourdieu dan Maskulinitas

Published

on

Gambaran Pilihan Bentuk
arif sugeng widodo

Arif Sugeng Widodo

Oleh Arif Sugeng Widodo

Persoalan kesetaraan dan keadilan gender merupakan persoalan lama yang sampai saat ini masih menjadi diskursus menarik dalam berbagai kajian. Persoalan-persoalan ketidakadilan gender masih terjadi di banyak belahan dunia bahkan di lingkungan kita. Banyak yang berkeyakinan bahwa laki-laki diciptakan lebih dominan, lebih super daripada perempuan. Hal tersebut dikuatkan dengan budaya patriakhi yang berkembang hampir diseluruh wilayah dunia. Selain budaya patriarkhi yang terbentuk, beberapa tafsir keagamaan juga ikut memperkuat pandangan laki-laki memang diciptakan lebih tinggi derajatnya dari pada perempuan. Sampai saat ini kajian tentang relasi gender belumlah benar-benar selesai masih banyak pertentangan-pertentangan dan perdebatan dalam isu tersebut.

Kajian tentang relasi laki-laki dan perempuan menjadi kajian yang menarik saat dikaitkan dengan perubahan sosial. Ada pertanyaan mendasar yang sering muncul, kenapa peran-peran perempuan sepertinya hanyalah subordinat dari peran laki-laki. Peran perempuan dianggap pelengkap dari sekian peran yang ada. Laki-lakilah pemegang otoritas penentu peran apa yang mestinya dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Bahwa laki-laki dipandang pemegang otoritas dan memang harus mendominasi menjadi anggapan umum, jika ada lelaki yang tidak punya otoritas atau dominasinya kurang terhadap perempuan maka akan dipertanyakan “kelaki-lakiannya”. Laki-laki harus lebih kuat dan berkuasa dipandang sebagai keharusan jika tidak maka akan dianggap menghina kaum laki-laki.

Isu relasi antara laki-laki dan perempuan ini sepertinya membuat tertarik seorang ahli ilmu sosial yang juga juga seorang filsuf Pierre Bourdieu untuk mengkajinya lewat bukunya yang berjudul Dominasi maskulin. Relasi antara laki-laki dan perempuan terhubung melalui simbol-simbol yang dipakai. Melalui simbol-simbol inilah kualitas relasi dapat dilihat dan diukur. Simbol telah memainkan peranan penting terhadap sejauh mana relasi dapat dikatakan adil dan setara. Lewat simbol inilah Bourdieu melihat ada kekerasa simbolik, kekerasan yang terkonstruksi lewat simbol-simbol yang terbangun lewat budaya dan kebiasaan-kebiasan. Kekerasan simbolik begitu halus hingga kadang tidak terlihat bahwa sedang terjadi kekerasan struktural dan kultural dalam masyarakat.

Pierre Bourdieu, filsuf yang sangat paham sosiologi dan antropologi, lahir pada tahun 1930 di Prancis di desa Denguin (distrik pyreenes-antlatiques) di bagian perancis selatan. Bourdieu sempat belajar filsafat bersama Louis Althusser di Ecole normale Superieure di Prancis. Bourdieu pernah bergabung dalam ketentaraan Prancis dan sempat dikirim ke Aljazair. Bahkan pada tahun 1958 sempat mengajar di universitas Aljazair. Setelah kembali ke Prancis ,Bourdieu menjadi pengajar di Universitas di Prancis. Sosiologi menjadi bidang yang digelutinya di Universitas. Bourdieu meninggal pada usia 71 pada di tahun 2002 karena penyakit kanker, menikah dengan Marie-Claire Brizard dan mempunyai tiga anak dari pernikahnya tersebut.

Buku Dominasi Maskulin yang ditulis oleh Bourdieu ditulis berdasarkan penelitian etnografi di masyarakat Qubail, Aljazair di daerah Mediterania. Tradisi Qubail memiliki tradisi yang tidak jauh dengan tradisi wilayah mediterania lainnya (Yunani, Italia, Spanyol, mesir, Turki, dll). Walaupun awalnya dengan pendekatan etnografi yang antropologis kajian yang dihasilkannya sangat filosofis. Sebenarnya banyak tradisi yang kalau dilihat dari sudut pandang dominasi maskulin hampir seluruh tradisi yang ada didunia ini didominasi tradisi yang patriarkis. Walaupun di beberapa tradisi tertentu pendekatan Matrilineal juga ada dan cukup kental pengaruhnya, tapi disatu sisi itu tidak menghapus dominasi laki-laki dalam bidang-bidang tertentu.

Pembagian peran berdasarkan jenis kelamin merupakan sejarah kultural yang bisa dikatakan sebagai tradisi yang paling tua. Struktur tubuh jadi penentu manusia mendapatkan peran yang seperti apa. Secara umum peran-peran awal dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Peran peran yang disepakati sebagai peran publik akan lebih didominasi oleh laki-laki dan peran-peran yang disepakati sebagai peran domestik akan lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Hal tersebut sudah menjadi “kesepakatan” umum yang “disepakati”. Konstruksi sosial itu melegitimasi peran-peran yang sudah menempel erat pada laki-laki dan perempuan serta merupakan bentuk ratifikasi terhadap dominasi maskulin (Bourdieu, 2010:13). Ruang-ruang publik di beberapa kasus tidaklah domain laki-laki saja, pasar adalah salah satu contohnya. Tapi kalau diperhatikan barang-barang yang dijual oleh perempuan kebanyakan adalah barang-barang yang mendukung kebutuhan domestik yang “erat” dengan perempuan.

Pembahasan mengenai peran antara laki-laki dan perempuan ini memang tidak lepas dari periodisasi apa dan dimana perbandingan itu dilakukan. Kalau di Indonesia sendiri saat masih jaman feodal akan berbeda saat jaman kolonial dan akan berbeda saat jaman kemerdekaan dan setelahnya. Masing masing jaman punya bentuk relasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, namun bukan berarti bentuk-bentuk dominasi yang diyakini “memang seharusnya” itu hilang. Tetap terjadi disparitas relasi yang kuat yang berdasarkan bangunan kultural yang sangat kuat yang tidak bisa berubah cepat.

Perbedaan tubuh khususnya perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu bagian tidak terpisahkan bagaimana posisi yang satu dianggap lebih tinggi daripada yang lain. Di banyak tradisi menjadi laki-laki adalah suatu kehormatan tersendiri. Laki-laki memperoleh posisi prestise di masyarakat bahkan sejak bayi laki-laki ini lahir di dunia. Kejantanan adalah sebutan kebanggaan, suatu gambaran keperkasaan laki-laki sejati. Kejantanan kadang tidak sekedar digambarkan secara seksual tapi juga secara sosial. Orang dianggap jantan saat orang tersebut mengikuti tradisi-tradisi yang dianggap sangat laki-laki/maskulin. Laki-laki tidak boleh menangis karena itu diluar tradisi laki-laki yang tegar dan tegas. Laki-laki tidak boleh lemah dihadapan perempuan karena itu diluar tradisi laki-laki yang secara tradisi derajatnya lebih tinggi. Laki-laki dianggap jantan kalau merokok dan pandangan tersebut selalu terus direproduksi untuk menegaskan pada anak-anak lelaki.

Bukan hanya tubuh yang dikonstruksi secara sosial tapi juga kebiasaan-kebiasaan, tradisi, serta budaya dikonstruksi untuk menguatkan posisi laki-laki yang superior. Organ seksual sebagai bagian dari tubuh mendapatkan konstruksi secara sosial mewakili tubuh itu sendiri. Jenis kelamin menjadi sangat penting secara sosial, sejauh mana jenis kelamin tersebut akan mendapatkan perlakuan sosial yang berbeda. “Demikianlah, definisi sosial organ-organ seksual adalah produk dari suatu konstruksi. Konstruksi itu dibangun berdasarkan suatu rangkaian pilihan yang telah diarahkan. Atau dengan kata lain, definisi sosial organ-organ itu merupakan produk dari suatu konstruksi yang dibentuk dengan penekanan terhadap beberapa perbedaan tertentu atau lewat skotomisasi terhadap beberapa persamaan tertentu. Definisi sosial itu bukan hanya merupakan pernyataan sederhana atribut-atribut natural yang langsung ditujukan bagi persepsi.” (Bourdieu, 2010:19-20).

Tubuh manusia baik itu laki-laki maupun perempuan mestinya mempunyai otoritasnya sendiri. Tubuh perempuan mestinya juga mempunyai kemerdekaannya sendiri namun sering secara sosialnya akhirnya harus melepaskan otoritasnya tersebut dan tunduk pada tradisi-tradisi yang berlaku. Di masyarakat Qubail digambarkan oleh Bourdieu perempuan harus menghindari tempat-tempat publik, pandangnya tidak boleh melihat area publik sehingga kalau berjalan harus menundukkan pandangannya dan melihat kakinya sendiri. Menunjukkan wajah, dahi, memandang wajah dan mata serta berbicara secara publik adalah domain laki-laki yang dimonopoli oleh laki-laki (Bourdieu,2010:24).

Pernyataan-peryataan yang menunjukkan relasi seksual antara laki-laki dan perempuan sering menunjukkan dominasi laki-laki dan perempuan. Posisi laki-laki yang diatas dan perempuan dibawah dianggap keberhasilan laki-laki mewujudkan dominasinya terhadap perempuan secara seksual. Bahwa perempuan adalah pihak yang pasif dan laki-laki adalah pihak yang aktif secara seksual adalah bahasa simbol dominasi laki-laki terhadap perempuan. Perempuan digambarkan pihak yang menerima saja, pihak yang tidak bisa berinisiatif dan tunduk apa yang laki-laki lakukan. Laki-laki menerapkan kekuasannya dalam relasi seksualnya, relasi seksual menjadi ajang dominasi laki-laki terhadap perempuan (Bourdieu, 2010: 27).

Laki-laki menjadi pelaku atas sebuah tindakan kekerasan yang mereka anggap suatu yang “wajar” dilakukan kepada perempuan. Pada saat terjadi kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) misalnya dahulu orang menganggap wajar bahwa suami memberi “pelajaran” kepada istrinya dengan menampar, memukul atau sekedar mendiamkan saja. Masyarakat menganggap apa yang dilakukan oleh suami adalah untuk mendidik istri agar menjadi istri yang patuh dan sholehah. Tindakan kekerasan adalah cara yang ampuh untuk mendidik istri agar menurut pada suami. Suami adalah pemegang otoritas penuh rumah tangga sehingga sebagai pemilik kuasa suami bisa melakukan apapun agar keluarga menjadi “baik”.

Tindakan kekerasan yang dilakukan diranah domestik dalam rumah tangga dianggap oleh masyarakat sebagai urusan privat keluarga tersebut. Kekerasanpun dibiarkan menjadi urusan privat dari rumah tangga yang bersangkutan. Secara langsung maupun tidak langsung masyarakat mengamini kultur yang terbangun bahwa istri (perempuan) adalah manusia subordinat dari laki-laki. Masyarakat membangun nilai-nilai yang melegitimasi laki-laki bisa berbuat apa saja terhadap perempuan. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Simone De Beauvoir:  “Melalui perkawinan, perempuan tidak lagi dipinjamkan dari satu klan ke klan yang lainnya: ia betul-betul tercerabut dari kelompok tempat ia lahir,lalu dikuasai oleh kelompok suaminya. Sang suami membeli perempuan layaknya membeli hewan ternak atau budak;ia memaksakan kepada para dewa domestiknya terhadapnya; dan anak-anak yang lahir kemudian menjadi milik keluarga sang suami.

Seumpama perempuan menjadi pewaris,hingga tingkatan yang eksesif ia akan meneruskan kekayaan keluarga ayahnya kepada suaminya;dengan hati-hati perempuan tidak dilibatkan dalam proses suksesi. Namun sebaliknya, karena karena tidak memiliki apa-apa, perempuan tidak merasakan martabat menjadi seseorang. Ia sendiri menjadi bagian dari patrimony laki-laki: pertama sang ayah, kemudian suaminya. Dibawah garis patrialkal yang keras, sang ayah, sejak kelahiran anak-anaknya, dapat memutuskan kematian baik anak laki-laki atau anak perempuan; namun dalam kasus sebelumnya, masyarakat biasanya membatasi kekuasaan itu. Setiap anak laki-laki yang lahir normal dibiarkan hidup, sedangkan kebiasaan mengacuhkan kelahiran anak perempuan meluas ( De Beauvoir,2003: 121)

Banyak kasus kekerasan seksual pelakunya adalah laki-laki. Korban bisa sangat beragam dari perempuan yang masih anak-anak, remaja, dewasa bahkan orangtua. Bahkan kasus kekerasan seksual jamak dilakukan bersama-sama oleh sekelompok laki-laki. Kasus perkosaan yang dilakukan bersama sama oleh laki-laki menjadi suatu obrolan “kebanggan” telah membuktikan diri sebagai laki-laki. Perempuan dijadikan semacam objek buruan, pada saat telah mendapatkannya maka seorang laki-laki diakui sebagai laki-laki oleh komunitasnya. Seperti yang diungkapkan Bourdieu: Beberapa bentuk “keberanian”secara paradoksal mendapatkan prinsipnya dalam ketakutan kehilangan kehilangan penghargaan dan kekaguman kelompoknya, ketakutan “kehilangan muka” di depan “teman-teman”, dan ketakutan kalau-kalau ditaruh dalam kategori feminin sebagai kaum “lemah”atau “mauviettes (perempuan yang buruk)”, “femmelettes (betina kecil), “gay”, dan lain-lain (Bourdieu, 2010: 75).

Laki-laki kadang takut tidak dianggap “laki-laki” oleh komunitasnya karena tidak berani melakukan sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan laki-laki. Laki-laki dipersepsikan sebagai penakluk perempuan, kalau tidak bisa menaklukkan perempuan maka diragukan kelaki-lakiannya. Persepsi seperti inilah yang kadang menimbulkan kekerasan pada saat berinteraksi dengan perempuan. Konsep dominasi sudah sejak awal ditanamkan pada saat membangun ralasi pada perempuan. Laki-laki harus dominan tidak saja sebagai sebuah pandangan tapi telah menjadi doktrin yang terus-menerus direproduksi.

Pada saat laki-laki sejak kecil sampai dewasa di doktrin bahwa laki-laki adalah makhluk unggul, super dan dominan di satu sisi perempuan di doktrin sebagai makhluk lemah, subordinat, dan harus menempatkan laki-laki sebagai pimpinan yang berhak atas kehidupan mereka. Doktrin terhadap perempuan tersebut juga dilakukan sejak kecil dan direproduksi secara terus menerus, sampai-sampai perempuan tidak sadar bahwa telah didominasi. Pada saat perempuan sadar telah didominasi mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar dan benar.

Menarik apa yang dibahas oleh Bourdieu adalah adanya peran-peran yang dianggap feminin pada saat dikerjakan oleh laki-laki mendapatkan penilaian yang jauh lebih dihargai daripada jika dilakukan oleh perempuan. Tapi sebaliknya pada saat peran-peran yang dianggap maskulin dikerjakan oleh perempuan maka tidaklah mendapatkan penghargaan yang berlebih. Pekerjaan memasak pada saat itu dilakukan perempuan hal itu dianggap biasa tapi kalau memasak itu dilakukan oleh laki-laki dan menjadi profesi yang bersifat public maka peran yang awalnya dianggap rendah tersebut menjadi pekerjaan yang prestis. Pekerjaan menjahit lekat dengan pekerjaan perempuan pada saat laki-laki melakukan pekerjaan tersebut pekerjaan menjahit tidak lagi dianggap pekerjaan domestic tapi lebih dihargai karena dilakukan oleh laki-laki. Saat pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “hina” itu dilakukan oleh laki-laki maka pkerjaan tersebut bisa menjadi pekerjaan yang terhormat (Bourdieu, 2007: 85).

Laki-laki dan perempuan mempunyai pandangan berbeda pada saat melihat tubuh mereka masing masing. Sudut pandang ini berkaitan dengan pandangan kaum penguasa (laki-laki) dan kaum yang didominasi (perempuan). Laki-laki tidak suka dengan bagian tubuhnya yang terlalu kecil dan perempuan tidak terlalu suka dengan bagian tubuhnya yang terlalu besar. Pandangan ini menggunakan oposisi yang sama namun dengan memberikan nilai-nilai yang terbalik terhadap istilah lawan (Bourdieu,2007: 93). Pandangan ini sering dijumpai dimasyarakat, laki-laki menganggap bermasalah saat lengan,kaki, atau tubuhnya dianggap kecil. Perempuan sebaliknya melihat bagian tubuhnya yang besar menjadi masalah khsusnya bagian perut atau juga mungkin pipi. Walaupun pandangan terhadap tubuh tersebut tidak bisa digenalisir semua wilayah seperti itu tapi pandang tersebut ada disebagian wilayah di dunia.

Ada ungkapan yang menarik mengenai sosok perempuan yang dikemukakan oleh Bourdieu; Efek dominasi maskulin adalah menempatkan perempuan dalam suatu keadaan ketidak pastian jasmaniah, atau membuat perempuan berada dalam situasi kebergantungan simbolik. Dominasi maskulin ini menjadikan perempuan sebagai barang-barang simbolik. Keberadaan (esse) dari perempuan adalah suatu keberadaan yang dilihat (percipi). Pertama-tama, perempuan itu ada karena pandangan orang lain dan untuk pandangan orang lain, yaitu sebagai benda-benda yang menerima, menarik, dan yang tersedia. Orang mengharap bahwa kalu bisa perempuan itu bersifat “feminin”, yaitu murah senyum, simpatik, penuh perhatian, tunduk, tidak banyak bicara, bisa mengendalikan diri, bahkan kalau bisa tidak pernah terlihat. Pretensi dari “feminitas” seringkali semata-mata hanyalah bentuk kesenangan yang ditujukan untuk memenuhi harapan-harapan maskulin, baik yang nyata maupun yang diandalkan,terutama dalam hal penyanjungan ego laki-laki. Karenanya, hubungan dependensi terhadap orang lain (bukan hanya terhadap laki-laki) cenderung menjadi hakikat bagi keberadaan perempuan (Bourdieu,2007: 94).

Kesejarahan yang panjang antara yang mendominasi dan yang terdominasi membuat hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang bukan masalah. Sehingga tidak saja kaum dominan yang melestarikan dominasi terhadap kaum terdominasi tapi juga kaum terdominasi akhirnya ikut melestarikan adanya dominasi terhadap mereka dengan menerima perlakuan sebagai terdominasi.seperti diungkapkan oleh Haryatmoko “Dominasi tidak selalu dalam bentuk penjajahan atau kasat mata seperti penindasan fisik,ekonomi atau sosial,tetapi bisa dalam bnetuk dominasi simbolik yang sering secara sadar atau tidak disetujui oleh korbannya” (Haryatmoko, 2010: 5). Pada akhirnya adanya gerakan feminis ingin merombak konsep relasi yang menguasai menjadi relasi yang setara. Membangun relasi yang setara tersebut tentulah tidak mudah dan masih berlangsung sampai sekarang ini.

Daftar Pustaka

Bourdieu,Pierre. 2010, Dominasi Maskulin, Jalasutra, Yogyakarta.
De Beauvoir,simone. 2003, Second Sex, Pustaka Promethea, Surabaya.
Haryatmoko. 2010, Dominasi Penuh Muslihat (Akar Kekerasan dan diskriminasi), Gramedia, Jakarta.
Wikipedia.wordpress

Continue Reading
2 Comments

2 Comments

  1. sparxpower

    22 April 2016 at 11:19 pm

    Pernah sepintas membaca buku tentang masyarakat Qubail, memang sangat unik. http://bibitonline.com

  2. MitraWacanaWrc

    20 May 2016 at 3:25 pm

    sparxpower terima kasih atas komentarnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Harmoni Kolaborasi Agama, Negara, dan Masyarakat dalam Mengatasi Krisis Lingkungan

Published

on

Sumber: freepik

Akbar Pelayati, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Uin Alauddin Makassar, Juga merupakan Aktivis HMI MPO Cabang Makassar.

Krisis lingkungan bukan hanya sekadar bencana yang akan melanda bumi kita; ini adalah sebuah panggilan yang mendesak kita untuk bertindak. Di tengah gemerlapnya pergulatan isu-isu global seperti perubahan iklim dan penurunan biodiversitas, dunia kini membutuhkan respons holistik. Itulah mengapa kolaborasi antara agama, negara, dan masyarakat menjadi semakin penting untuk memecahkan masalah dalam menangani tantangan lingkungan.

Dari sudut pandang agama, kita melihat bagaimana nilai-nilai moral dan spiritual memberikan landasan kuat untuk menjaga alam. Konsep ecotheology, misalnya, menggabungkan prinsip-prinsip agama dengan wawasan lingkungan, menawarkan perspektif baru tentang hubungan antara manusia dan alam. Ajaran Islam menekankan penghormatan terhadap lingkungan sebagai bagian integral dari iman, menjadikannya sumber inspirasi bagi individu dan komunitas untuk bertindak bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Di sisi lain, peran negara tidak bisa diabaikan. Melalui kebijakan lingkungan yang ketat, negara dapat menciptakan kerangka kerja yang mendukung praktik bisnis berkelanjutan. Program seperti PROPER di Indonesia bukan hanya sekadar alat evaluasi, tetapi juga sebagai pendorong bagi industri untuk bergerak menuju praktik yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, negara juga memiliki peran dalam menggalang kerjasama internasional untuk menangani masalah lingkungan secara bersama-sama.

Namun, tanggung jawab tidak hanya terletak pada pundak agama dan negara. Setiap individu dalam masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan. Dari tindakan sederhana seperti pengelolaan sampah hingga dukungan terhadap inisiatif lingkungan, setiap langkah kecil memiliki dampak yang besar dalam menjaga keberlanjutan Bumi.

Kolaborasi yang erat antara agama, negara, dan masyarakat adalah kunci untuk mengatasi krisis lingkungan. Dengan bersatu, kita dapat menjaga harmoni antara manusia dan alam, menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Tantangan ini bukan hanya panggilan untuk bertindak, tetapi juga kesempatan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi Bumi kita dan semua makhluk yang menghuninya.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending