Opini
Mengenal Pemikiran Teolog Feminis Riffat Hassan
Published
1 year agoon
By
Mitra Wacana“Riffat Hasan menilai ketidakadilan gender terjadi karena interpretasi yang keliru terhadap teks-teks suci Al Quran. Interpretasi tersebut dilakukan kaum laki-laki yang mengabaikan pengalaman perempuan dan konteks sejarah yang menjadi latar belakang lahirnya teks-teks suci tersebut”
Sebagai suatu gerakan, teologi feminisme diperkirakan muncul pada akhir tahun 1960an yang menempatkan perempuan dan pengalamannya menggunakan sudut pandang teologi. Gerakan ini muncul sebagai respon terhadap ketidakadilan gender yang terjadi dalam ajaran atau tafsir agama monoteistik: Islam, Kristen, dan Yahudi. Salah satu perempuan tokoh gerakan Teologi Feminisme adalah Riffat Hassan, seorang profesor di bidang studi Islam di Universitas Louisville, Kentucky, Amerika Serikat.
Biografi singkat
Riffat Hassan dilahirkan di Lahore, Pakistan pada 1943. Kakek dari pihak ibunya adalah Hakim Ahmad Shuja, seorang penyair, penulis, dan penulis drama terkenal di Pakistan. Meskipun masa kecilnya nyaman, Hassan terpengaruh oleh konflik antara pandangan tradisional ayahnya dan ketidaksesuaian ibunya. Selama sebagian besar hidupnya, ia tidak sepakat dengan tradisionalisme ayahnya terutama dalam hal peran gender, namun kemudian ia menghargainya karena kebaikan dan kasih sayang ayahnya. Ia menempuh pendidikan di Cathedral High School, sebuah sekolah misionaris Anglikan, dan kemudian melanjutkan studi di St. Mary’s College, Universitas Durham, Inggris. Pada 1968 Hassan meraih gelar Ph.D. dari Universitas Durham.
Hassan mengajar di Universitas Punjab di Lahore dari tahun 1966 hingga 1967 dan bekerja di Kementerian Informasi dan Penyiaran Pakistan dari tahun 1969 hingga 1972. Pada tahun 1972, ia berimigrasi ke Amerika Serikat bersama putrinya. Ia telah mengajar di berbagai institusi pendidikan, termasuk Universitas Oklahoma dan Universitas Harvard, dan sebagai Profesor Studi Keagamaan di Universitas Louisville, Kentucky.
Menurut Riffat Hasan, ketidakadilan gender dalam Islam terjadi karena interpretasi yang keliru terhadap teks-teks suci. Ia berpendapat bahwa interpretasi tersebut dilakukan oleh kaum laki-laki yang mengabaikan pengalaman perempuan dan konteks sejarah yang menjadi latar belakang lahirnya teks-teks suci tersebut. Dalam pandangan Riffat, perempuan dalam Islam dinilai sebagai subjek yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan bukan sebagai objek yang diperlakukan sebagai properti.
Salah satu karya Riffat Hasan yang terkenal adalah buku berjudul “Feminist Theory and Islamic Discourse” yang terbit pada tahun 1992. Dalam buku ini, ia mengkritik interpretasi konvensional terhadap teks-teks suci Islam yang menempatkan perempuan dalam posisi inferior dan mengabaikan pengalaman perempuan. Riffat Hasan juga mengusulkan pendekatan baru dalam membaca teks-teks suci dengan mengambil perspektif perempuan dan konteks sejarahnya.
AL-Qur’an dan HAM
Hassan adalah seorang tokoh Islam progresif yang menganggap Al-Qur’an sebagai “Magna Carta (baca piagam kebebasan) hak asasi manusia” yang mengatur hak-hak asasi manusia dan kesetaraan untuk semua orang. Menurutnya, ketidaksetaraan perempuan dalam banyak masyarakat Muslim saat ini disebabkan oleh faktor budaya, bukan ajaran agama. Hassan berpendapat bahwa Al-Qur’an menghormati hak hidup, kehormatan, keadilan, kebebasan, pengetahuan, rezeki, pekerjaan, dan privasi.
Ia mendukung interpretasi Al-Qur’an yang tidak dogmatis, karena menurutnya kata-kata dalam kitab suci tersebut dapat memiliki makna yang bervariasi. Menurut Hassan, makna Al-Qur’an ditentukan melalui hermeneutika, yaitu melalui pemeriksaan arti kata-kata pada saat Al-Qur’an ditulis. Ia juga menekankan pentingnya “kriteria etis” dalam menafsirkan Al-Qur’an, sehingga agama tidak digunakan sebagai alat untuk melakukan ketidakadilan.
Hassan juga mendukung hak aborsi dan akses kontrasepsi bagi wanita Muslim. Meskipun Al-Qur’an tidak secara langsung membahas tentang kontrasepsi, menurutnya, prinsip-prinsip agama dan etika Islam mengarah pada kesimpulan bahwa keluarga berencana merupakan hak fundamental. Ia mengacu pada tinjauan yurisprudensi Muslim yang menyatakan bahwa aborsi dapat diterima dalam 120 hari pertama kehamilan, ketika janin belum ditiupkan ruh dalam kandungan.
Pada 1999, Hassan mendirikan Jaringan Internasional untuk Hak-Hak Perempuan Korban Kekerasan di Pakistan. Organisasi ini bergerak melawan praktik “pembinasaan” demi kehormatan perempuan yang dalam pandangannya sungguh bertentangan dengan ajaran Islam. Hassan berpendapat bahwa pelabelan perempuan sebagai makhluk yang rendah terjadi karena kesalahpahaman di kalangan Muslim bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, padahal dalam ajaran penciptaan Islam, Adam dan Hawa diciptakan dari unsur yang sama, bahkan secara bersamaan.
Meskipun begitu, pandangan Riffat Hasan juga mendapatkan kritik dari kalangan konservatif yang menolak perubahan dalam interpretasi teks-teks suci. Mereka menganggap bahwa penafsiran terhadap teks-teks suci sudah benar dan tidak perlu diubah. Sebaliknya, pandangan Riffat Hasan justru mendapatkan dukungan dari kalangan yang lebih progresif yang menganggap bahwa interpretasi teks-teks suci selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Berkait kelindan dengan perempuan
Teologi Feminisme Riffat Hasan merupakan gerakan yang mengangkat peran dan pengalaman perempuan dalam penafsiran teks-teks suci Islam. Riffat Hasan mengkritik interpretasi tradisional yang menempatkan perempuan dalam posisi inferior dan mengabaikan pengalaman perempuan. Oleh karena itu, Hassan mengusulkan pendekatan baru dalam membaca teks-teks suci dengan cara menggunakan perspektif perempuan dan konteks kesejarahannya.
Dalam pandangan Riffat Hasan, teologi feminisme seyogianya mengambil pendekatan interdisipliner yang melibatkan teologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ia juga mengusulkan pendekatan hermeneutika yang kritis untuk membaca teks-teks suci dengan mempertimbangkan konteks sejarah, sosial, dan budaya yang menjadi latar belakang teks tersebut. Dengan pendekatan ini, bagi Hasan akan menghasilkan interpretasi yang lebih inklusif dan menghargai pengalaman perempuan.
Gerakan Teologi Feminisme Riffat Hasan menjadi sangat “nyambung” dengan perjuangan hak-hak perempuan dalam konteks ajaran agama. Gerakan ini memperjuangkan keadilan & kesetaraan gender dalam agama dan menolak segala bentuk perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Dalam konteks ajaran Islam, gerakan Teologi Feminisme Riffat Hasan memperjuangkan hak-hak perempuan dan menolak segala bentuk penindasan yang didasarkan pada interpretasi tradisional yang patriarkal.
Namun, pandangan pemikiran Riffat Hasan juga mendapatkan tantangan dari kalangan konservatif yang menolak adanya perubahan dalam interpretasi teks-teks suci. Hemat saya, apa yang telah dimulai oleh Riffay Hasan tampaknya perlu digaungkan secara berkelanjutan demi memperjuangkan hak-hak perempuan dalam ajaran agama dengan cara yang tidak mengancam “stabilitas” agama dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak tanpa harus kehilangan keberpihakan terhadap kelompok tertindas.
Referensi
Hasan, Riffat. Feminist Theory and Islamic Discourse. University Park: The Pennsylvania State University Press, 1992.
Abu-Lughod, Lila. “Riffat Hassan and Islamic Feminism.” Feminist Studies, vol. 27, no. 1, 2001, pp. 223–227. JSTOR, www.jstor.org/stable/3178656
“Riffat Hassan.” Encyclopædia Britannica, Encyclopædia Britannica, Inc., www.britannica.com/biography/Riffat-Hassan
https://en.wikipedia.org/wiki/Riffat_Hassan
https://alchetron.com/Riffat-Hassan
Tulisan ini juga terbit di https://www.indonesiana.id/read/166388/mengenal-pemikiran-teolog-feminis-riffat-hassan
You may like
Opini
Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum
Published
1 week agoon
12 September 2024By
Mitra WacanaDewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).
Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).
Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).
Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).