Ekspresi
Resensi Buku: Salah Asuhan

Published
5 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh: Ika Sari Rahayu
(Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta 2018)
Karya : Abdul Moeis
Tahun Terbit : 1928
Hanafi adalah seorang pribumi yang berasal dari Solok, Ibunya seorang janda karena ditinggal mati ayahanya. Ibu Hanafi sangat menyayangi Hanafi dan ingin menyekolahkannya agar Hanafi pandai, untuk itulah Hanafi dikirim ke Betawi untuk bersekolah di HBS. Di Betawi, Hanafi dititipkan kepada keluarga Belanda.
Hanafi bekerja di BB sebagai Asisten Residen Solok. Sebagai seorang pribumi, kelakuan Hanafi sangat kebarat-baratan, bahkan melebihi orang Belanda yang asli, hal ini karena semenjak sekolah hingga bekerja, Hanafi hidup dilingkungan orang-orang Belanda.
Pada masa sekolahnya, Hanafi dekat dengan teman perempuannya, Corrie, wanita cantik keturunan Indo-Belanda. Hanafi sangat dekat dengan Corrie, mereka menghabiskan waktunya bersama-sama, hubungan keduanya sangat akrab dan dekat sudah seperti kakak dan adik. Namun, Benih-benih cinta mulai tumbuh dihati Hanafi, ia menganggap bahwa hubungannya dengan Corrie tidak hanya sekadar kakak dan adik, tapi lebih dari itu, seperti seorang kekasih.
Pada suatu hari, Hanafi menyatakan perasaan cintanya kepada Corrie, namun wanita cantik itu tidak langsung memberikan jawaban atas pernyataan cinta Hanafi, tanpa alasan yang jelas, Corrie justru pulang meninggalkan Hanafi. Keesokan harinya, Corrie memutuskan untuk pergi meninggalkan Solok, ia pindah ke Betawi, kemudian dikirimkannya surat kepada Hanafi yang berisi penolakan cinta Hanafi kepadanya. Corrie menolak hanafi karena perbedaan
bangsa, Eropa dan Melayu. Karena penolakan tersebut, Hanafi jatuh sakit, Pemuda pribumi itu dirawat oleh ibundanya yang begitu sayang dan peduli kepadanya. Saat Hanafi sakit, ibunya memberi nasihat-nasihat kepada hanafi agar ia menikah dengan Rapiah anak dari Sutan Batuah, Sutan Batuah adalah orang yang membiayai sekolah Hanafi selama di HBS. Ibundanya menyuruh Hanafi menikah dengan Rapiah karena ingin membalas budi kepada Sutan Batuah. Pada awalnya hanafi menolak karena ia hanya mencintai Corrie. Hanafi akhirnya dengan terpaksa mau menikah dengan Rapiah.
Setelah dua tahun menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Syafei. Karena tidak dilandasi rasa cinta, maka kehidupan rumah tangga mereka berduapun tidak bahagia. Hanafi memperlakukan Rapiah seperti pembantunya, ia selalu memarahi Rapiah meskipun istrinya tersebut hanya melakukan kesalahan kecil. Suatu ketika Hanafi murka terhadap ibunya, sampai-sampai ibu Hanafi menyumpahinya. Hanafi digigit anjing gila dan ia berobat ke Betawi. Sampai di Betawi, Hanafi menabrak seorang gadis yang tidak lain adalah Corrie, pujaan hatinya.
Hanafi kembali menyatakan perasaannya kepada corrie, bahkan ia rela berubah kewarganegaraannya. Karena merasa iba, akhirnya corrie menerima Hanafi sebagai suaminya. Meskipun pernikahan Corrie dan Hanafi diketahui Rapiah, ia tetap menunggu Hanafi. Hanafi dan Corrypun mulai menjalani bahtera rumah tangga mereka, waktu berjalan dan akhirnya sama saja, pernikahan Hanafi dan Corrie tidak bahagia, bahkan Hanafi menuduh corrie sudah melakukan hubungan dengan orang lain.
Corrie sakit hati, ia pergi dari rumah, untuk menghindari Hanafi, ia pergi ke Semarang. Hanafi kemudian menyusul Corrie ke Semarang, Hanafi terkejut. Corrie masuk rumah sakit karena sakit Kolera. Tak lama kemudian, Corrie meninggal dunia. Hanafi pulang ke Solok menemui ibunya,beberapa hari kemudian hanafi sakit, iapun meninggal karena menenggak enam butir sublimat.
Tanggapan :
Novel tersebut, memiliki makna dan amanat yang baik untuk dibaca. Konflik yang diusung dalam novel tersebut kompleks dan mencapai titik puncak. Novel ini menarik untuk dibaca karena mampu membuka mata kita terhadap pentingnya memiliki identitas bangsa yang kuat menikah degan berbeda bangsa perlu kita pertimbangan yang matang, dari novel ini juga kita bisa memetik pelajaran bahwa kita harus bersikap baik kepada keluarga kita karena merekalah tempat untuk kita kembali, merekalah orang-orang yang mampu menerima kita apa adanya. Selain itu, menuruti apa yang kita inginkan, tidak menjamin sebuah kebahagiaan.
Berita
Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Published
4 weeks agoon
15 May 2025By
Mitra Wacana
Jumat, 9 Mei 2025, Mitra Wacana berkolaborasi dengan Mahasiswa Magang mengadakan diskusi bersama. Diskusi ini menghadirkan teman-teman dari berbagai latar belakang keberagaman. Tema yang diangkat terasa sangat relevan dengan kondisi saat ini: Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme, khususnya dalam konteks digital yang kian kompleks.
Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri lini masa kita setiap hari, bentuk penyebaran paham radikal dan intoleran pun telah berubah wajah. Jika dahulu radikalisme menyebar lewat mimbar, buku, atau ceramah, kini ia menjelma lewat algoritma media sosial. Platform seperti TikTok, Telegram, YouTube, dan sejenisnya telah menjadi ladang subur penyebaran kebencian, prasangka, dan ide-ide ekstrem. Ironisnya, konten-konten ini sering kali dikemas dengan sangat menarik—visual yang apik, narasi yang meyakinkan, dan dibungkus dalam bahasa anak muda yang akrab—sehingga sulit dikenali sebagai ancaman sejak awal.
Kita sering kali lupa bahwa intoleransi tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan dari kegagalan kita menghargai perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuknya bisa beragam: penolakan pembangunan rumah ibadah, larangan atribut keagamaan di ruang publik, atau bahkan kos-kosan yang secara terang-terangan hanya menerima penghuni dari agama tertentu. Sekilas tampak sepele, tapi di baliknya tersembunyi cara pandang eksklusif yang tak memberi ruang pada keragaman.
Lebih jauh lagi, radikalisme dan ekstremisme berkembang dalam tiga tahap yaitu cara pandang, sikap, dan tindakan. Ketika seseorang merasa paling benar, mulai mudah melabeli orang lain sebagai “kafir”, dan menolak hidup berdampingan, itu adalah tanda-tanda awal dari bahaya yang lebih besar. Dalam konteks sosial, hal ini kerap diperparah oleh ketimpangan ekonomi, rasa terpinggirkan, dan sentimen bahwa identitas kelompoknya sedang diserang. Perasaan-perasaan inilah yang kerap menjadi bahan bakar bagi radikalisme, terutama ketika disulut oleh informasi yang tidak benar.
Media sosial memperburuk situasi ini. Algoritma hanya menunjukkan apa yang ingin kita lihat, memperkuat bias, mempersempit pandangan, dan menutup ruang dialog. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber yang memperkuat keyakinan sendiri tanpa pernah mendapat perspektif lain. Ditambah lagi dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian, polanya menjadi semakin mengkhawatirkan.
Yang membuat situasi semakin rumit adalah jenis-jenis hoaks yang kini semakin canggih. Ada hoaks yang menyamar sebagai humor atau satire, ada pula yang mencampur informasi palsu dengan fakta, bahkan ada yang memanipulasi video agar terlihat benar. Hoaks semacam ini bukan sekadar kebohongan biasa—ia bisa menjadi pemicu konflik sosial yang besar. Kita pernah melihat dampaknya, seperti pada konflik Ambon atau insiden Tolikara. Satu informasi menyesatkan bisa berubah menjadi bara api dalam hitungan jam.
Melawan semua ini jelas tidak cukup hanya dengan seruan toleransi. Diperlukan langkah yang lebih konkret, seperti memperkuat literasi digital masyarakat, mengajarkan cara memilah informasi, serta membongkar cara berpikir eksklusif yang sering menjadi akar masalah. Kita juga perlu lebih kritis terhadap narasi-narasi publik—termasuk kebijakan pemerintah—yang mengandung bias atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Yang kita butuhkan adalah ruang-ruang inklusif yang tidak sekadar menerima keberagaman, tetapi juga merayakannya. Ruang di mana setiap orang, dari latar belakang apa pun, merasa aman dan dihargai. Ini bukan hal utopis. Ini bisa dimulai dari kebiasaan sederhana: memilih informasi yang kita baca, membagikan konten yang memperluas wawasan, dan berhenti menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.
Pada akhirnya, dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Tapi kita masih punya kendali atas cara kita bersikap di dalamnya. Kita bisa memilih untuk curiga satu sama lain, atau memilih untuk saling belajar dan memahami. Di era ini, pilihan itu hadir dalam bentuk yang sangat sederhana—apa yang kita klik, siapa yang kita ikuti, dan konten seperti apa yang kita bagikan.
Maka, mari kita bijak dalam menyaring informasi. Karena dari situlah inklusivitas bisa tumbuh, diskriminasi bisa dicegah, dan keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman. Ini bukan hanya soal dunia maya—ini soal bagaimana kita membentuk masyarakat yang adil dan damai di dunia nyata.
Penulis : Oksafira

Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Kebangkitan “Malam” oleh Elie Wiesel: Memoar yang Hampir Terlupakan
