web analytics
Connect with us

Opini

Diskursus Ketidakadilan Gender

Published

on

perempuan sering sekali menjadi korban dari ketidakadilan gender
Mahasiswa Magang Jurusan Bahasa Jerman

Dwi Amanah Rahmawati Mahardhika

Oleh Dwi Amanah Rahmawati Mahardhika (Mahasiswi Magang UNY)

Dari tahun ke tahun, menurut pendapat penulis bahwa ketidakadilan gender semakin marak terjadi di kalangan masyarakat. Perbedaan gender sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan. Gender pada umumnya merupakan sebuah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan maskulinitas dan feminitas. Karakteristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin, hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin, atau identitas gender. Perbedaan-perbedaan biologis atas jenis kelamin (sex) sering kali dialihkan menjadi perbedaan-perbedaan sosial atas golongan kelamin.

Rata-rata ketidakadilan gender sering dialami oleh kaum perempuan, mengingat asumsi dari masyarakat sendiri bahwa kodrat perempuan; sebagai contoh memasak. Coba kita sadari, bahwa tidak seharusnya seorang perempuan memasak didapur. Bahkan pekerjaan memasak pun dapat dilakukan oleh kaum laki – laki. Hal ini dapat disimpulkan, seorang laki – laki pun bisa memasak di rumah tanpa harus perempuan yang memasak, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh lain, laki- laki bisa mencari nafkah dan mendidik anak dirumah. Begitu pula dengan perempuan, dia bisa bekerja diluar juga mendidik anak dirumah.

Gender tercipta untuk melengkapi tugas dari kaum laki- laki dan perempuan yang tidak bisa diselesaikan sendiri. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat mengatakan bahwa kodrat seorang perempuan hanya mengurusi urusan rumah tangga, seperti memasak dan mengurus anak dirumah. Kodrat dan gender sangatlah berbeda. Kodrat merupakan sesuatu ketentuan yang tidak bisa ditukar maupun dirubah. Disinilah gender berfungsi, ketika seorang perempuan tidak bisa memenuhi peran-peran di ranah rumah tangga, laki- laki-pun bisa mengambil peran tersebut untuk menyelesaikannya. Sayangnya, Masih banyak masyarakat yang tidak memiliki pemahaman tersebut, sehingga menghambat perempuan dalam berkarir dan lebih terfokus hanya pada pekerjaan rumah tangga saja.

Berikut beberapa ketidakadilan gender yang sering dialami perempuan di kalangan masyarakat:

a) Marginalisasi

Marginalisasi adalah usaha membatasi atau pembatasan. Proses marginalisasi banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan. Namun salah satu bentuk marginalisasi yang dialami oleh perempuan disebabkan oleh gender yang terjadi dalam masyarakat. Marginalisasi terhadap perempuan bias berasal dari kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur, dan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.

b) Subordinasi

Pandangan terhadap gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting atau di bawah. Mereka cenderung kurang mengeksplore kemampuan yang mereka miliki.

c) Stereotip

Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu golongan tertentu. Stereotip itu selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip adalah stereotip yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidak adilan terhadap jenis kelamin tertentu terutama perempuan yang bersumber dari penandaan (stereotip) yang dilekatkan kepada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah untuk memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini.

Berdasarkan konsep gender, maka perempuan sering distereotipkan memiliki sifat lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, ada anak laki – laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Jadi dapat disimpulkan, bahwa stereotip tidak hanya bersifat negatif, namun juga dapat bersifat positif, misalnya stereotip yang bersifat positif adalah perempuan distereotipkan sebagai seorang yang rajin. Sebaliknya stereotip perempuan yang bersifat negatif, misalnya perempuan distereotipkan sebagai orang yang lemah. Dalam kaitannya dengan ketidakadilan gender, stereotip yang dibahas dalam tulisan ini adalah stereotip yang bersifat negatif.

d) Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender.

Wujud kekerasan pada perempuan bisa berupa fisik, psikis, baik verbal maupun non verbal. Kekerasan fisik, seperti kebijaksanaan pemerintah dalam program keluarga berencana, mendahulukan perempuan menggunakan alat kontrasepsi yang belum mereka ketahui akibatnya. Perkosaan dan pembunuhan perempuan dalam masyarakat yang terjadi dalam rumah tangga, ketika suami memaksa dengan kekerasan fisik kepada istrinya untuk melayani kebutuhan seksualnya, contoh lainnya misalkan tindakan penggerayangan (yang tidak diharapkan) pelecehan dengan kekerasan fisik terhadap perempuan, pemenjaraan anak perempuan dalam keluarga, penganiayaan anak perempuan, dan pemukulan istri oleh suami. Berbagai bentuk kekerasan psikis seperti pelecehan, senda gurau jorok yang melecehkan perempuan, permintaan hubungan seks di tempat umum, serta ancaman seks lainnya.

e) Beban kerja

Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk membersihkan rumah, mengepel lantai, mencuci baju, memasak hingga memelihara anak dan mempersiapkan segala keperluan suami atau laki-laki di rumah. Apalagi di kalangan keluarga miskin, dimana perempuan biasanya harus bekerja untuk menafkahi keluarga. Tentunya beban ganda harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Sementara laki-laki lebih sesuai bekerja di luar rumah, dalam arti mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan keluarganya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Harmoni Kolaborasi Agama, Negara, dan Masyarakat dalam Mengatasi Krisis Lingkungan

Published

on

Sumber: freepik

Akbar Pelayati, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Uin Alauddin Makassar, Juga merupakan Aktivis HMI MPO Cabang Makassar.

Krisis lingkungan bukan hanya sekadar bencana yang akan melanda bumi kita; ini adalah sebuah panggilan yang mendesak kita untuk bertindak. Di tengah gemerlapnya pergulatan isu-isu global seperti perubahan iklim dan penurunan biodiversitas, dunia kini membutuhkan respons holistik. Itulah mengapa kolaborasi antara agama, negara, dan masyarakat menjadi semakin penting untuk memecahkan masalah dalam menangani tantangan lingkungan.

Dari sudut pandang agama, kita melihat bagaimana nilai-nilai moral dan spiritual memberikan landasan kuat untuk menjaga alam. Konsep ecotheology, misalnya, menggabungkan prinsip-prinsip agama dengan wawasan lingkungan, menawarkan perspektif baru tentang hubungan antara manusia dan alam. Ajaran Islam menekankan penghormatan terhadap lingkungan sebagai bagian integral dari iman, menjadikannya sumber inspirasi bagi individu dan komunitas untuk bertindak bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Di sisi lain, peran negara tidak bisa diabaikan. Melalui kebijakan lingkungan yang ketat, negara dapat menciptakan kerangka kerja yang mendukung praktik bisnis berkelanjutan. Program seperti PROPER di Indonesia bukan hanya sekadar alat evaluasi, tetapi juga sebagai pendorong bagi industri untuk bergerak menuju praktik yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, negara juga memiliki peran dalam menggalang kerjasama internasional untuk menangani masalah lingkungan secara bersama-sama.

Namun, tanggung jawab tidak hanya terletak pada pundak agama dan negara. Setiap individu dalam masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan. Dari tindakan sederhana seperti pengelolaan sampah hingga dukungan terhadap inisiatif lingkungan, setiap langkah kecil memiliki dampak yang besar dalam menjaga keberlanjutan Bumi.

Kolaborasi yang erat antara agama, negara, dan masyarakat adalah kunci untuk mengatasi krisis lingkungan. Dengan bersatu, kita dapat menjaga harmoni antara manusia dan alam, menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Tantangan ini bukan hanya panggilan untuk bertindak, tetapi juga kesempatan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi Bumi kita dan semua makhluk yang menghuninya.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending